16.9.06

Being Selfish and Irresponsible

Baru saja membuat keputusan yang sangat nggak bertanggung jawab dan nggak profesional. Keputusan yang sulit, tapi mau bagaimana lagi? Keputusan itu sudah dibuat. SMS itu sudah dikirim.

Alasannya? Simply, aku cuma nggak mau memori tentang salah satu hal terindah dalam hidupku dirusak oleh hal-hal yang (mungkin) akan terjadi.
Yes, I’m a coward. I’m too scared to face what may come. I’m too scared to face reality.

Jadi, biarkan memori itu sampai di sini saja, nggak usah ada tambahan apa pun, karena mungkin tambahan itu justru akan merusaknya.

Lagipula, sepertinya selama ini aku sudah cukup banyak berkontribusi. Sekarang saatnya untuk memunculkan sifat utama seorang anak tunggal, yaitu EGOIS! Sekarang saatnya kembali oportunis dan apatis, seperti dulu lagi.

OSKM? Kemahasiswaan?
Hell with them!

*Ternyata susah ya untuk bertindak profesional dan memisahkan urusan pribadi dari urusan lain…

14.9.06

Dealing with broken heart

Rasanya baru kemarin aku membuat post berjudul ‘I Think I’m in Love’ itu. Rasanya baru kemarin aku pergi ke kampus dengan hati berbunga-bunga, hoping that my hair and my clothes are fine, kalau-kalau aku kebetulan bertemu dengannya di salah satu sudut kampus. Rasanya baru kemarin aku merasa begitu gembira menerima SMS atau menjawab telepon darinya.

And suddenly I feel so STUPID…

Rasanya baru kemarin aku menulis nggak akan menangis 7 hari 7 malam, mengurung diri di kamar ditemani buku dan musik yang gloomy (as usual...), or even hurt myself physically (I’m a sort of person who have a tendency to do that kind of thing) karena Senopati.

Tapi...
Rasanya, sekarang aku HARUS melakukannya.

Bukan karena Senopati, tapi karena orang yang sempat membuatku berpikir, “This guy’s so adorable! Senopati nggak ada apa-apanya kalau dibandingin sama dia!”

Ini bukan broken heart ala novel atau film yang cheesy. Sejak awal aku sudah tau dia cuma untuk dikagumi, bukan untuk dimiliki.

Ya, justru karena ITU lah...

10.9.06

Dunia Tanpa Koma


Tiga nama pemeran utamanya: Dian Sastro (the lovable girl, siapa sih yang nggak suka sama dia?), Fauzi Baadilla (nggak cuma punya tampang keren dan perut six packs yang bikin ngiler, tapi aktingnya juga OK), dan Tora Sudiro (siapa juga sih yang nggak suka sama dia?), sebenarnya cuma alasan kedua yang membuatku menunggu-nunggu film seri yang mulai tayang sejak tadi malam ini.

Alasan pertamanya, karena film seri ini bercerita tentang dunia wartawan, dunia yang sangat ingin aku masuki.

Tapi setelah menonton episode pertamanya tadi malam, terbersit sedikit rasa kecewa juga. Ceritanya masih standar, nggak jauh beda sama sinetron kebanyakan. Sinematografinya (dari sudut pandangku sebagai orang awam, yah… tahu sedikit lah tentang sinematografi waktu ikut ekskul Sinematografi di SMA dan pendidikan Cakru di LFM) juga standar. Penggambaran tokohnya terlalu hitam-putih.

Tapi masih lebih bagus sih daripada sinetron-sinetron yang mungkin karena faktor kejar tayang, kelogisan ceritanya, akting pemainnya, dan sinematografinya jadi nggak penting lagi.

Film seri ini juga bisa memberi gambaran tentang pekerjaan wartawan: bagaimana seorang wartawan harus gigih mencari berita, bagaimana seorang wartawan harus punya link ke ‘orang-orang penting’, bagaimana seorang wartawan harus punya rasa ingin tahu dan memperhatikan sekitarnya, bagaimana stresnya kalau belum berhasil mewawancarai narasumber padahal sudah dikejar deadline, bagaimana harus bersaing dengan media lain untuk mendapatkan berita eksklusif, sampai bagaimana seorang wartawan berbicara dan berdandan.

Makanya, ayo Dis, kuliah yang benar biar dapat IP bagus, keep on practicing, ambil S2 Communication-Journalism di luar negeri, and make yourself a great journalist!

Hmm… what a life…

9.9.06

JaHim

Habis iseng buka-buka files lama di flash disk (siapa tahu ada tulisan yang bisa ditaruh di blog ini), terus ‘nemu’ file yang ini. Ini tulisanku buat Boulevard 55 (yang terbitnya molor sekitar 2 bulan itu... =p). Dan berhubung siapapun yang mengedit sepertinya LUPA mencantumkan namaku sebagai penulisnya (yang dicantumkan cuma nama Yasmin), jadi kenapa nggak aku taruh di sini saja? Here’s the original version of my writing:

HMS (Himpunan Mahasiswa Sipil)
HMS, mungkin salah satu himpunan di ITB yang jaketnya paling ‘eksis’. Berdasarkan polling, ... % responden dari HMS mengaku bangga memakai jaket berwarna hijau dengan logo insinyur Sipil di dada kiri yang sudah menjadi ciri khas himpunan itu. Jumlah yang relatif lebih besar dibanding himpunan-himpunan lain.
Karena proses mendapatkannya (baca: Ospek Jurusan) yang berat? “Berat itu kan relatif,” kata Ghozalfan Farabi Basarah (SI’02) yang akrab disapa Ghozy, mantan Ketua HMS.

Ia menerangkan tentang arti jaket himpunan baginya. Menurutnya, jaket sebenarnya cuma sekedar simbol. “Sama saja seperti bendera himpunan,” ia memberi contoh. Tetapi ia mengakui, dengan adanya jaket dapat memberi keterikatan lebih pada sesama anggota himpunan.

Saking strict-nya anak HMS terhadap jaket himpunannya, mereka tidak rela kalau jaketnya dipakai oleh non-himpunan. “Pernah ada kasus anak Sipil yang non-him pakai jaket himpunan. Sayang yang minjemin nggak ketahuan siapa. Jadi yang pinjam itu yang kita proses,” kisah Ghozy.

Ketika dimintai tanggapannya tentang arogansi himpunan, Ghozy menjawab, “Salah satu tujuan kaderisasi emang buat numbuhin arogansi, tapi yang positif.” Ia menambahkan, “HMS itu himpunan yang stratanya cukup tinggi di ITB. Itu kata anak himpunan lain lho...”

KMSR (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa)
Kalau himpunan-himpunan lain membuat satu jaket khusus sebagai ciri khas, tidak dengan KMSR. Dari dulu mereka tidak pernah punya yang namanya jaket himpunan. “Yang ada cuma emblem bintang warna merah, jadi terserah setiap orang mau masang di mana. Di sepatu yang buat dinjek-injek pun nggak masalah,” jelas Faisal Habibi (Seni Patung ’03), Presiden KMSR. Alasannya? “Jaket itu nggak penting,” jawabnya enteng.

Ketika ditanya pendapatnya tentang jaket himpunan lain, ia menjawab, “Kalau mereka menganggap jaket sebagai benang merah yang bisa bikin kompak ya nggak apa-apa.”

Lebih lanjut, ia mengakui, sebagian besar anak KMSR sedikit sensitif kalau melihat anak himpunan lain memakai jaket himpunannya di daerah SR. “SR itu clear area buat jaket himpunan!” tegasnya.

Tanggapan Presiden KM
“Jaket almamater itu identitas ITB, salah satu faktor yang bisa menyatukan ITB, harusnya mahasiswa ITB bangga memakainya,” demikian pendapat Dwi Arianto Nugroho (TK ’02), Presiden KM yang baru terpilih.

Namun hasil polling berbicara lain. Jumlah mahasiswa ITB yang bangga memakai jaket himpunan lebih banyak daripada yang bangga memakai jaket almamater. Bahkan ada yang dengan terus terang menjawab malu memakai jaket almamater. Apakah itu menunjukkan kemahasiswaan di ITB terkotak-kotak di himpunan? Menurut Dwi, kita tidak dapat menyimpulkan seperti itu hanya dari jaket. “Kalau sudah terbiasa berkumpul di suatu komunitas, akan tumbuh kebanggaan terhadap komunitas itu. Makanya TPB dicampur untuk menghindari kebanggaan yang berlebihan terhadap jurusan,” katanya lagi.

Ia lalu menceritakan latar belakang historisnya. Dulu, ketika di ITB ada Dema (Dewan Mahasiswa) cuma ada satu jaket, jaket almamater. Lalu Dema dibubarkan, sampai dibentuk KM (Keluarga Mahasiswa) sepuluh tahun yang lalu. Saat terjadi kekosongan itulah dibentuk himpunan-himpunan di tingkat jurusan. Masing-masing himpunan lalu membuat jaket sendiri, walaupun jaket almamater masih tetap ada.

Itulah yang membedakan ITB dengan universitas-universitas lain. UI (Universitas Indonesia) misalnya, terkenal dengan jaket almamaternya yang berwarna kuning. Kalau ada acara jurusan, mahasiswa tetap memakai jaket itu, hanya ditambah dengan emblem jurusan. Mungkinkah di ITB dibuat seperi itu? Menurut Dwi, hal itu memerlukan proses yang bertahap. “Yang pertama perbaiki kinerja KM dulu,” katanya.

Dwi sendiri mengaku waktu pertama masuk ITB bangga memakai jaket almamater, lalu setelah dilantik di himpunan bangga memakai jaket himpunan. “Tapi saya tetap lebih sering memakai jaket almamater,” katanya. “Jaket himpunan cuma dipakai kalau kedinginan.”

Obsesi (Part 2): Sebuah Cerita Tentang Senopati

“Jadi pernahkah kamu memiliki seorang ‘Nimo’? Seseorang yang menjadi obsesi kamu selama bertahun-tahun?
Setelah sampai sejauh ini, aku yakin bahwa kita punya kekuatan untuk memilih, menyimpan obsesi itu atau mencoba membuatnya nyata-walau lewat jalan misterius bernama kebetulan dan keberuntungan sekalipun.”
-Cintapuccino (hal. 249), Icha Rahmanti-

Hmm... adakah obsesi yang menjadi kenyataan?

Sedikit flashback ke 2 tahun yang lalu...

OSKM 2004
Tadinya, aku tipe orang yang nggak percaya sama ‘falling in love at the first sight’. There’s no such thing. Kalaupun ada, paling cuma sebatas tertarik physically.
Sampai aku mengalaminya sendiri.

Waktu itu, ada sekitar 3500 orang peserta dan panitia dari berbagai divisi. Kalau jumlah laki-laki dan perempuan seimbang, berarti ada sekitar 1750 laki-laki. Tapi, entah kenapa, mataku cuma tertuju pada satu orang ini. Mungkin karena jaket almamater membuatnya tampak ‘wah’ (Sedangkan aku, masih pakai putih-abu-abu. Cupu.) Mungkin karena panji yang ada di tangannya. Mungkin karena dia sempat memberiku semangat sekilas. Mungkin karena dia terlihat berwibawa sekaligus ramah.
Yang jelas, aku langsung tertarik padanya since the very first sight. And no, it was not just physically.

Selama setahun aku sering mengambil jalan memutar lewat himpunannya walaupun ada jalan lain yang lebih dekat (dan dalam sehari bisa bolak-balik beberapa kali). Aku mencari account Friendster-nya sampai-sampai semua account yang kira-kira berhubungan dengannya aku buka satu per satu (dan ternyata dia nggak punya account Friendster). Aku mencari tahu semua informasi tentangnya dari teman-teman yang sejurusan atau seunit dengannya. Oh ya, sekali waktu aku pernah semeja dengannya di Perpus Pusat. Aku langsung meraih HP, pura-pura menelepon, padahal diam-diam aku memotretnya. Sampai sekarang foto itu masih kusimpan. We’re all insane when it comes to love, aren’t we?

Masalahnya, he didn’t even realize that I’m alive!

OSKM 2005
Akhirnya, ada kesempatan untuk mengenalnya. Walaupun cuma sekedar mengenalnya. Tapi akhirnya, at least dia tahu namaku (dan nomor HP-ku, he... he... ;p). Padahal aku bukannya sengaja mendaftarkan diri jadi panitia. Padahal aku bukannya sengaja masuk divisi Taplok. Sebut saja ini kebetulan.

Oh ya, kalau kita melihat seseorang dan langsung menyukainya, biasanya setelah kita mengenalnya pasti akan ilfeel karena ternyata dia nggak seperti yang kita bayangkan. Tapi ini lain. Semakin aku mengenalnya, justru semakin aku menyukainya. Setelah melihat bahwa he’s not all that I think he is pun, yah... it’s OK, he’s just human.

“... bilang aku gila, tapi... knowing that he’s not perfect after all malah bikin aku mikir kalau he’s even more perfect than before!
I realize that seeing someone like this doesn’t come by itself. It comes with love... (I think I start to fall for him...) And yes, I am so cliche.”

-Dari buku yang sama, hal. 255-

But I wasn't only fall for him, I was obsessed with him! I’ve let him know about this feeling, and I feel no regret after all...

Well
, sepertinya previous posts di blog ini sudah bisa menggambarkan bagaimana aku terobsesi pada seorang Senopati. Yang paling akut sih, waktu aku mau dioperasi bulan Februari lalu, beberapa saat setelah obat bius yang disuntikkan melalui infus di tanganku mulai bekerja, beberapa saat sebelum aku mulai kehilangan kesadaran, yang terbayang adalah sosoknya. Memangnya aku siapa, dia siapa? Tolong... aku terobsesi!!!

Beberapa hari yang lalu
Suci memberiku kabar (lalu kabar ini dibenarkan oleh Uti) yang kalau aku dengar setahun yang lalu, mungkin aku akan menangis 7 hari 7 malam, mengurung diri di kamar ditemani buku dan musik yang gloomy (as usual...), or even hurt myself physically (I’m a sort of person who have a tendency to do that kind of thing), tapi sepertinya aku baik-baik saja! Well, a bit surprised, I confess, but I’m doing just fine, seriously!

It means: I (finally) got over him! Fiuh... lega rasanya. Seperti terbebas dari beban yang selama ini memberatiku. Seperti waktu Osjur, bawa tas carrier yang beratnya minta ampun (sekitar 13 kg) seharian, lalu ada kesempatan untuk melepas tas itu dari pundak. Lega kan? (He... he... pembandingnya nggak banget ya?)

Jadi, adakah obsesi yang menjadi kenyataan?
Sepertinya itu cuma terjadi di chick-lit. Atau film-film Hollywood. Atau komik-komik Jepang. Yang jelas tidak di kehidupan nyata.
Wake up... wake up... daydreamer! Get into real life!

Btw, sah-sah saja kan mengambil kutipan dari chick-lit? ;p

 
design by suckmylolly.com