21.9.09

Gadis Itu!

Iya, itu dia, tidak salah lagi! Berdiri mematung seorang diri di pinggir jalan. Aku sampai meminta supir taksi memutar sekali lagi –yang berarti membuat argo berjalan lebih lama– untuk memastikan.

Bukan pertama kali ini aku tidak sengaja bertemu dengannya. Yang pertama di satu tempat wisata di Bandung. Aku dengan keluargaku, dia dengan keluarganya. Yang kedua di perjalanan-mencari-peruntu
ngan-di-Jakarta entah yang ke berapaku ini. Memang kecil ya dunia ini, ternyata.


Aku jadi bingung. Sekarang posisi kami sudah sangat dekat. Haruskah aku berlari menemuinya, memberi pelukan hangat dan cium pipi? Ah, aku baru ingat kami kan tidak saling kenal, nanti dia malah lari ketakutan. Haruskah aku mengenalkan diri lebih dulu? Atau haruskah aku pura-pura tersesat dan bertanya jalan, atau jam berapa sekarang? Huh, membayangkannya pun tampak konyol.

Akhirnya aku malah memilih untuk memandanginya saja dari jauh. Dia terlihat… hmm, menarik. Ini aneh, karena pertama, aku sama sekali tidak kenal dengannya. Walaupun sebenarnya aku sudah tahu banyak hal tentang dia. Bukan hal yang sulit di era teknologi informasi ini. Aku sampai tahu nama-nama sahabat terdekatnya, judul Tugas Akhirnya, dan kapan kakaknya menikah. Dan kedua, harusnya aku membencinya. Karena rambutnya panjang atau bajunya warna biru, atau apalah.

Tapi aku malah merasa begitu dekat dengannya. Mungkin karena aku melihat ada diriku pada dirinya.

***

Hei, gadis. Mungkin lain kali kita bisa melakukan banyak hal bersama. Mengobrol seru seperti sepasang teman lama yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu, ditemani secangkir kopi yang sama-sama kita suka. Mengobrol tentang apa saja: mulai dari quarter life crisis sampai potensi laut Indonesia. Atau menghabiskan waktu seharian sekedar untuk jalan-jalan, bergosip, atau membaca majalah.

Bukankah kita sepertinya punya banyak kesamaan –selain suka kopi? Kita sama-sama suka pantai dan tidak suka olahraga. Kita mungkin pernah meneriakkan idealisme dan semangat yang sama, walaupun dengan seragam yang berbeda. Kita mungkin pernah berkutat dengan rumus yang sama, mempelajari buku yang sama, walaupun di tempat yang berbeda. Kita sepertinya juga punya selera baju yang sama. Bahkan kita punya jenis rambut yang sama persis dan mungkin, ukuran celana jeans kita juga sama.

Oh iya, hampir lupa, kita juga pernah sayang orang yang sama. Dan… disayang orang yang sama? Memiliki harapan dan kekecewaan yang sama. Yang aku tidak tahu adalah bagaimana caramu melupakannya. Mungkin berbeda dengan caraku.

Gadis, aku benar-benar ingin berteman denganmu. Ini tulus… :)

ITB Itu Biasa Saja*


*inspirasi judul dari Efek Rumah Kaca, Jatuh Cinta Itu Biasa Saja


Saya baru (akhirnya) selesai (juga) membaca Gading-Gading Ganesha. Lembar-lembar pertama, kesan yang saya tangkap adalah: berlebihan. Saya merasa, penulis terlalu berlebihan menggambarkan ITB sebagai “perguruan tinggi terbaik”, “tempat sang proklamator menuntut ilmu”, “kampus idaman setiap insan muda Indonesia yang baru lulus SMA”, yada… yada… yada… sehingga membawa eforia bagi enam tokoh utamanya ketika baru masuk ITB. Seakan masuk ITB = sudah jaminan sukses. Saya kok biasa-biasa saja ya dulu.

Mungkin karena sejak kecil saya tinggal di Bandung, dan ITB bukan hal asing buat saya. Jadi saya tidak tahu rasanya diantar orang sekampung atau dititipi kain batik oleh Ibu, seperti salah satu tokoh utamanya. Sebelum kuliah di ITB, saya sudah bolak balik ke Laboratorium Pengolahan Air TL (yang dulu saya ‘kutuk’ karena banyak alat aneh dan bau-bauan aneh, tapi ternyata saya malah masuk jurusan yang memiliki laboratorium itu, huh, kualat!). Saya sudah pernah ikut prosesi wisuda di Sabuga, makan siang di Kantin Borju, hunting barang murah meriah di Pasar Jumat, dan syuting di daerah Sipil (seriously, waktu SMA saya ikut unit Sinematografi, dan pernah syuting di ITB). Bahkan saya membeli Supernova Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh-nya Dee di Kokesma. Maklum, harga edisi mahasiswanya jauh lebih ekonomis.

Mungkin juga karena saya sudah tahu diterima di ITB beberapa minggu sebelum pengumuman resmi, jadi saya belum sempat merasakan dag-dig-dug menunggu pengumuman. Teman Mama yang kebetulan dosen TL suatu malam menelepon, memberitahu nama saya ada di daftar nama peserta USM yang diterima di TL. Saya bahkan belum sempat belajar ekstra keras buat SPMB. I know, I’m such a lucky bastard. He-he.

Tidak ada yang (terlalu) istimewa. ITB itu biasa saja kok.

Karena itulah saya merasa novel itu berlebihan. Hal yang sama juga saya rasakan ketika beberapa waktu yang lalu melihat caleg yang mencantumkan “Alumni ITB” di spanduknya. Ya terus kenapa kalau situ alumni ITB???

Dan, bukankah sudah sering kita mendengar isu bahwa alumni ITB di dunia kerja arogan, egonya tinggi, terlalu percaya diri, kutu loncat, dan tidak bisa bekerja sama?

Padahal apa sih istimewanya ITB? Lulus dari ITB, sama saja tuh, harus rajin-rajin mencari lowongan kerja seperti sejuta pengangguran intelektual lain di Indonesia (data tahun 2009-red). Kalau diterima pun harus ikut on job training dulu, apalagi kalau bidangnya tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan kita. Tidak bisa langsung jadi bos, kecuali kalau perusahaan itu punya ayah kita ;). Atau harus berburu beasiswa ke luar negeri, bagi yang berminat melanjutkan studi. Atau harus mengumpulkan modal dan berebut konsumen dengan kompetitor, bagi yang tertarik berwirausaha.


***

Memasuki bagian tengah, barulah novel ini terasa real. Benar bahwa universitas yang sesungguhnya ada di dunia nyata. Para alumni kampus cap gajah itu ada yang kena PHK, usahanya kolaps, tidak bisa mempertahankan idealisme, bahkan terpaksa jadi supir tembakan dan salesman bebek mainan door-to-door di negeri orang. Oh iya, khusus mengenai “tidak bisa mempertahankan idealisme” ini, saya melihat pola yang mirip dengan Epigram-nya Jamal dan Orang-Orang Proyek-nya Ahmad Tohari: aktivis kampus semasa kuliah meneriakkan idealisme, setelah lulus tidak bisa bertahan pada idealismenya.

Tapi akhirnya, bersinergi, mereka memberikan apa yang mereka bisa untuk masyarakat, sesuai bidang keahlian dan kemampuan masing-masing di bawah slogan “Indonesia Jaya”. Menghasilkan karya nyata, bukan sekedar wacana. Membuat kampus tidak sekedar menara gading.

Ah, mungkin saya yang salah. Mungkin ITB tidak biasa saja. Bukankah beratnya beban akademis yang membuat siklus tidur jadi tidak normal itu, ditambah ospek yang keras (untuk jurusan tertentu lho ;p), ditambah maraknya kegiatan kemahasiswaan, ditambah interaksi dengan orang dari berbagai latar belakang daerah sampai-sampai ITB dijuluki Indonesia mini, sudah menempa kita menjadi insan yang tidak biasa saja?

Mungkin, kita memang tidak biasa saja. Kalau bersinergi.

Yang jelas, membaca novel ini membuat saya ingin kembali mengenakan jaket almamater dan meneriakkan Salam Ganesha. Ah, berjuta rakyat menanti tangan kita, mereka lapar dan bau keringat… ;)

 
design by suckmylolly.com