26.5.10

Sekolah Kehidupan Bernama Metro Jakarta Utara

Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara

Saya ingat sekali, sore itu saya baru melangkah keluar dari kos (yang baru saja diisi perabot itu) ketika telepon itu masuk. Sayangnya saya lupa siapa yang menelepon, yang pasti tulisan yang muncul di layar BB saya adalah "kantor".  

Adisti, kamu ditempatin di Metro Jakarta Utara, ya. Kamu pegang berita perkotaan, tapi kamu harus siap cover kriminal juga sekali-kali. Wartawan-wartawannya biasa nongkrong di warung samping polres. Kenalan dulu aja. Nanti kalau sempet mampir ke polsek-polsek, ke kantor walikota, bla bla bla... 

Aduh, aduh. Sekeliling saya seketika gelap rasanya.

Okelah, jadi wartawan memang cita-cita saya sejak dulu. Tapi yang saya bayangkan soal profesi ini adalah: wawancara eksklusif sama menteri siapalah, ikut perjalanan dinas presiden ke manalah, investigasi soal korupsi di lembaga apalah... Bukannya nongkrong di kantor polisi atau lari-lari meliput kerusuhan.

Metro, merupakan satu desk yang dianggap momok, bahkan bagi reporter senior sekalipun. Beda dengan para reporter Desk Ekonomi dan Bisnis yang sering menghadiri undangan liputan di hotel bintang lima, pulang membawa sekantung goodie bag, dan bergaul dengan para dirut; atau para reporter Desk Nasional yang berkeliaran di tempat-tempat kebijakan negeri ini dibuat dan bisa sedikit menyombong, "Kemarin Menteri A telepon saya, klarifikasi soal kasus yang itu.", para reporter Desk Metro harus siaga 24 jam sehari 7 hari seminggu kalau-kalau ada kerusuhan, kebakaran, banjir, bom meledak, atau apalah. Juga harus selalu mobile keliling pos liputannya, kalau-kalau di pelosok sana ada ibu yang membunuh anak kandungnya, atau di ujung sana ada gedung SD yang mau roboh.
 


Dan Jakarta Utara, bukanlah pusat pemerintahan dan bisnis seperti Jakarta Pusat atau Selatan. Jakarta Utara, dalam bayangan saya, adalah daerah pelabuhan dan industri yang "keras". Tempat kejadian kriminal tumpah ruah. Panas, semrawut.

O O O O O H H H . . . W H Y M E , G O D ? ? ?

***

Long story short,
setelah tiga bulan, setelah semua orang bilang, "Dis, lo kurusan dan iteman.", setelah berbagai versi surat pengunduran diri yang akhirnya cuma jadi draft, ternyata saya belajar banyak dari hal yang tadinya amat saya benci. Saya belajar bahwa dunia nyata, ternyata, tidaklah manis dan berwarna-warni bak gulali.

Rasanya semua yang saya pelajari selama kuliah empat tahun lebih, semua idealisme semasa meneriakkan Salam Ganesha bla bla bla itu, semua mimpi masa kanak-kanak, semua tidak ada artinya lagi. Ya, inilah dunia nyata. Selamat datang di dunia nyata. Tidak ada silabus, tidak ada textbook, tidak ada kelas. Tidak ada jadwal ujian karena sepanjang saya bernafas dan membuka mata adalah ujian.

Saya belajar dari pedagang asongan buta huruf yang didakwa sebagai pengedar ganja.
Dari pensiunan petugas pemadam kebakaran yang nyawanya hilang ketika melawan kebakaran besar di pabrik sandal.
Dari bocah lima-enam tahunan yang mengacungkan celurit dan (merasa) mengerti tentang jihad.
Dari guru SMP yang memaksa saya menerima "amplop".
Dari penjaja kerang hijau yang keukeuh berjualan walaupun Teluk Jakarta, tempatnya membudidayakan kerang jelas-jelas sudah dinyatakan tercemar Merkuri.
Dari buruh bongkar muat pelabuhan yang terkatung-katung setelah di-PHK.
Dari kakek yang cucunya meninggal karena ledakan tabung gas tepat di hari ulangtahunnya yang keenam.
Dari tukang becak dan pedagang kaki lima yang kena gusur, maupun Satpol PP yang menggusur.
Dari massa (yang jumlahnya ribuan, yang datang tiba-tiba entah dari mana) yang sedemikian mudahnya terprovokasi dan membakar apa saja yang ada di depan mata.
Dari anak-anak yang makan, tidur, belajar, dan bermain di kolong jalan tol sepanjang hidup mereka.
Dari supir truk kontainer yang tanpa dikurangi pungli pun penghasilannya tidak cukup untuk menghidupi enam anak.
Dari warga yang mengamuk dan merusak ruko yang baru dibangun di pemukiman mereka.
Dari nelayan yang tidak bisa melaut karena tidak mampu beli BBM dan beralih profesi jadi pemulung.
Dari remaja tanggung tidak tamat SD yang membunuh karena cemburu.
Dari satu keluarga yang rumahnya ludes dihanguskan api dan hanya punya baju yang melekat di badan.
Dari pedagang es potong yang tusuk-tusukan pakai pisau pemotong es karena persaingan harga yang cuma selisih 100 rupiah, di depan SD tepat pada jam istirahat.
Dari oknum polisi yang mencak-mencak ketika saya todong soal keterlibatan polisi dalam perampokan warung mie dan apotik.
Dari ABK yang (entah bagaimana) mendorong rekannya ke laut saat mabuk dan baru sadar berhari-hari kemudian.
Dari massa yang sempat-sempatnya menjarah di tengah ribuan orang yang sedang bertikai, celurit, lemparan batu, dan gas air mata.
Dari tuna rungu yang ikut demo.

Juga dari para begundal utara (sebutan untuk para wartawan Metro Jakarta Utara-red), mulai dari yang paling idealis sampai yang paling getol mengumpulkan "amplop".

Dan, di usia yang sudah menginjak 23 ini, saya belajar sesuatu soal cinta. Cinta tidak buta. Cinta hanya menutup mata. Tapi kalau mau kita bisa kok, memilih untuk membukanya. :)

 
Mungkin saya memang harus berterima kasih pada Metro dan Jakarta Utara. Untuk tiga bulan yang membuat saya jadi tiga kali lipat lebih kuat. Well, what doesn't kill you makes you stronger. Yah, setelah puluhan kali menyambangi kerusuhan dan kebakaran, liputan sambil lari-lari menghindari lemparan batu dan gas air mata, disuruh standby di lokasi kebakaran semalam suntuk, menunggui kamar jenazah, melihat darah dan potongan tubuh, melihat bandeng (bahasa sandi polisi untuk mayat-red) dalam kondisi mengenaskan, nongkrong bareng para intel dan kriminal, apa lagi sih yang lebih buruk yang bisa terjadi?

God, now I know why. Because You want me to be stronger.

Setidaknya ada satu hal yang bisa bikin saya senyum: sekarang saya sudah bisa bilang, "The hardest part is over." :) :) :)

6.5.10

cinta.



ajari aku soal cinta, kataku.
aku tidak bisa mengajarimu, tapi aku bisa menunjukkannya padamu, katamu.



 cinta itu menggeliat-geliat memberontak di bawah alam sadar.
ketika kecup lembutmu di bibir ini perlahan berubah wujud jadi kecupan penuh gelora.

cinta itu melayang-layang di udara.
ketika wangi maskulin alami tubuhmu bercampur wangi Marlboro merah mulai merasuki sukma ini.

cinta itu menghentak-hentak nyawaku.

ketika kau hempaskan tubuh ini hingga darah mengalir deras sampai ujung jemari kaki.

cinta itu menabrak-nabrak batas-batas nalar dan logika.
ketika kita berbagi peluh dan lenguh dalam satu irama.



dan semua jadi fana.






kamu adalah lelakiku. kamu adalah candu.

3.5.10

Mata Itu

Di suatu hari…
Dia : Dis, lihat mataku dong.
Aku : Hmm?
Dia : Kamu kenapa sih, kalau ngomong nggak pernah mau lihat mataku?
Aku : …


Suatu hari yang lain…
Dia : Dis, coba lihat. Inilah orang yang kamu sayang. Dari awal kan aku sudah bilang, memang keadaanku seperti ini.
Aku : Hah? Apa? Orang yang aku apa?
Dia : Yang kamu sayang.
Aku : Huahahahaha… Kok kamu bisa bilang begitu?
Dia : Dari mata kamu.
Aku : …



***

Aku jadi ingat. Ada seekor kucing liar, kurus, dekil yang suka datang ke rumah. Bulunya coklat menggemaskan. Kadang dia hanya diam di pintu, menatap penuh waspada pada kami, penghuni rumah yang lalu lalang. Kadang –mungkin kalau perutnya sudah kelewat lapar– dia mengendap-endap ke dapur, lalu hap! Science Diet kucing kesayangan saya di mangkuk merah jambu, atau bahkan sepotong ayam, tempe, atau apapun yang ada di meja, akan disambarnya. Belakangan dia mulai kelewatan. Stok Science Diet yang tersimpan rapih di dalam toples di atas meja, entah bagaimana berhasil dibukanya, dan hanya disisakan seperempat.
Mama selalu jadi orang yang paling sebal akan keberadaan si kucing coklat. Sementara aku, seperti yang sudah-sudah, tidak pernah tega. Beberapa kali aku sengaja menyodorkan mangkuk merah jambu, supaya dia bisa merasakan makanan kucing impor itu. Sambil ubun-ubunnya aku elus-elus. Padahal aku tahu, kucing coklat nanti jadinya tuman –ketagihan.

“Makanya, jangan dilihat matanya. Nanti jadi nggak tega.” Mama.

Ah, benar juga. Setiap melihat mata kucing coklat, aku jadi luluh. Rasanya ingin membawanya pulang, membersihkan bulunya yang kotor, memeluknya, dan memberinya semangkuk susu hangat. Aku tidak peduli dia kucing liar, dekil, penyakitan. Semuanya jadi tidak penting lagi.

***

Mungkin, ya, mungkin, aku memang harus menghindari sepasang mata itu. Supaya aku tidak hanyut dan tenggelam di dalamnya, lagi dan lagi.


Tenang, Sayang. Aku masih di sini, kok. Masih di sampingmu di malam-malam sepimu, mendengar kelam masa lalumu sambil menertawakan diri sendiri, memeluk tubuh kurusmu dari belakang erat-erat saat kamu di balik kemudi motor, memastikan kamu tidak memasukkan terlalu banyak nikotin dan alkohol ke tubuh itu, dan membiarkan diriku lebur dalam nyaman dekapmu.

Kalau itu bisa sedikit menghapus sepimu dan mengobati lukamu...

 
design by suckmylolly.com