24.10.10

RESIGN


Apa pekerjaan impian kamu?

Kalau ditanya begitu, saya akan menjawab malu-malu, sebab... umm... pekerjaan impian saya agak sulit diwujudkan. Pekerjaan impian saya adalah rock superstar! Pakai contact lense ala Marylin Monroe, bikin lirik lagu soal penguasa yang lalim, dan makan kelinci hidup-hidup di atas panggung. Pekerjaan impian saya yang lain adalah agen rahasia! Seperti Mrs. Smith atau tiga bidadari Charlie yang mahir memainkan pistol and kick some guy's ass sambil pakai stiletto. Cool banget nggak sih? ;;)

No, seriously.

Pekerjaan impian saya, dari dulu adalah wartawan. Saya ingin tulisan saya dibaca orang dan dijadikan rujukan, seperti Leila S. Chudori yang resensi filmnya terkenal tajam atau Ninok Leksono yang spesialis artikel sains. Saya ingin dikirim meliput peristiwa penting dari berbagai belahan dunia, seperti Meutya Hafid yang sempat disandera tentara Mujahidin segala. Saya ingin jadi pemimpin redaksi sekaligus penulis seperti Fira Basuki. Kalau itu, nggak terlalu sulit kan? ;;)

Just thought you should know, ini skema cita-cita saya setelah lulus kuliah:
1. Kerja di majalah lifestyle franchise, seperti Cosmopolitan atau Elle setahun.
2. Setelah itu kerja di koran/majalah berita, seperti Kompas atau Tempo satu-dua tahun.
3. Setelah itu kerja di stasiun TV berita, seperti Metro TV atau TV One sampai pensiun dan punya anak-cucu.

Dua pertama, alhamdulillah, sudah tercapai. Dan jangan dikira itu gampang.

Tapi toh akhirnya saya bisa menjalani pekerjaan impian saya. Seperti kata Confucius, "Choose a job you love, and you will never have to work a day in your life," saya memang nggak pernah merasa sedang "bekerja". Saya bebas bangun siang. Bebas pakai celana jeans dan sepatu Converse yang sama belelnya. Bebas nongkrong di food ourt Sarinah atau Taman Surapati sambil mengetik berita di saat orang lain mungkin sedang bosan-bosannya di kantor (Well, siapa butuh "kantor" kalau saya bisa bekerja dari BB atau laptop?). Bebas nongkrong bareng sesama wartawan sambil ngobrol ngalor ngidul dan merokok di pressroom, kantor polisi, bahkan pinggir jalan tanpa harus jaim.

Saya geli sendiri melihat teman-teman sekos yang kerja kantoran, yang harus bangun pagi dan berurusan dengan drama seperti, "Mana seragam gue yang mau disetrika? Mana bahan presentasi gue? &^%$#@$%^*&". Saya cuma bisa tersenyum sarkas membaca tweet orang-orang yang mengeluh soal pekerjaannya dan menunggu-nunggu datangnya weekend.

Ah, terlalu banyak cerita selama sembilan bulan jadi wartawan. Mungkin nanti saya akan bikin satu post khusus saja soal ini. :)



Lalu... apa? Setelah mimpi terwujud, lalu apa? Benarkah itu yang terbaik untuk kita? Akankah kita setia pada satu mimpi yang sama? Atau, bagaimana kalau kita terbangun dari mimpi dan mendapati ada realita di luar sana?

***

Siang itu, sehari setelah kaki saya terkilir (gara-gara bengong waktu turun dari metromini, ah sudahlah itu nggak penting :D), saya nggak liputan ke lapangan dan menghabiskan waktu di kantor saja. Redaktur Metro yang bertubuh tambun dan bertato itu memanggil saya ke mejanya. Dia lantas bertanya, apakah saya mau jadi wartawan sampai jangka waktu lama.

Saya bingung menjawabnya. Waktu itu saya masih jadi -meminjam istilah Radix- jurnabil alias jurnalis labil. Yah, saya akui masa-masa awal jadi wartawan memang sulit untuk saya. Dan mungkin redaktur itu sedikit-banyak bisa membacanya.

"Kamu tahu nggak, wartawan yang hebat itu yang gimana?" tanyanya kemudian.

"Nggak tau, mas."

"Wartawan yang hebat itu wartawan yang mencintai pekerjaannya, lalu berhenti jadi wartawan."

"Lho, kok malah hebat?"

"Ya hebat dong. Berarti kan dia mengorbankan hal yang dia suka. Misalnya begini, dia sebenarnya suka jadi wartawan, tapi gaji wartawan nggak cukup. Jadi dia pindah kerja ke tempat lain yang gajinya lebih besar. Atau begini, dia sebenarnya suka jadi wartawan, tapi susah ketemu keluarga dan anaknya karena jam kerja wartawan yang nggak jelas, nggak bisa diprediksi. Jadi dia cari kerjaan lain yang lebih teratur. Pasti berat sekali rasanya."

***

Kata-kata itu, saya jadikan salah satu pertimbangan sebelum resign. Per 1 Oktober ini. Dan pindah kerja ke... bank.

Sebenarnya itu bukan pekerjaan impian saya, tapi kalau saya pikir sekarang, berapa banyak sih orang di dunia ini yang bisa menjalani pekerjaan impiannya? Coba tanyakan pada mereka yang mesti berdiri tegap sepanjang hari di depan gerbang kedutaan besar yang menjulang angkuh, atau mereka yang mesti menyapu jalan dari dedaunan di siang yang terik. Apa itu pekerjaan impian mereka? Atau kalau mau lebih ekstrim lagi, coba tanyakan pada mereka yang menjual tubuhnya. Apa itu pekerjaan impian mereka? Saya pikir, hidup bukan hanya tentang mewujudkan mimpi, tapi juga, lebih penting dari itu, tentang mengambil pilihan. Tentang memanfaatkan kesempatan yang ada. Tentang bersyukur. Lalu melanjutkan hidup.

Jadi, dengan berbagai pertimbangan (dari yang paling dangkal seperti "Saya ingin kantor yang memungkinkan saya pakai high heels dan make up." sampai yang paling ambisius seperti "Saya ingin gaji yang cukup buat nyicil rumah sekian tahun lagi."), saya memutuskan untuk... RESIGN.

Sekarang saya tahu bahwa mewujudkan mimpi sama sekali nggak gampang, tapi melepaskannya jauh lebih nggak gampang lagi. Sekarang saya juga tahu bahwa, ibaratnya berperang, untuk terus berjuang atau mundur sama-sama butuh keberanian. Sebab kadang, mundur bukan berarti kalah, tapi mengalah untuk kebaikan. For a greater good.





(Ngomong-ngomong soal resign, saya jadi penasaran, bagaimana ya perasaaan orang lain waktu resign. Resign saya kemarin cukup heboh. Saya nangis di kantor, di meja redaktur yang sama, sebelum "diculik" teman-teman seangkatan ke tempat nongkrong kami di bilangan Langsat. Dan masih nangis sampai tiga hari berikutnya. :D)

 
design by suckmylolly.com