i want to climb the highest mountain
i want to swim across seven seas
i want to run through the jungle
i want to walk between skyscrapers
i want to see the world and see its magic
i want to be the name that they call when they announce the winner of "woman of the year" award
but, in the end of the day, all i want is someone to ask, "how was yor day?" and really care to hear the answer.
thank you. for loving me.
20.6.11
Dear You,
Posted by Adisti Dini Indreswari at 9:06 PM 4 comments
Labels: my love life
30.1.11
"Kok Blognya Nggak Pernah Update Lagi, Dis?"
Well. Kalau pekerjaan kamu adalah menulis, kamu akan mengerti. Sehabis kerja, kamu nggak akan pingin menulis apa-apa lagi.
Ah, ya. Ternyata Tuhan cukup baik mengabulkan doa saya yang ini. Saya kembali jadi jurnalis. Kembali menulis. :)
Posted by Adisti Dini Indreswari at 3:13 AM 8 comments
Labels: my job
29.11.10
"Perfect Shoes"
Membaca tulisan Carissa yang ini, saya jadi ingat waktu sepatu saya hilang.
Acara itu di Jakarta, sementara semua sepatu pesta saya ditinggal di Bandung. H-1, saya baru menelepon Mama, memintanya mengirim sepatu yang dimaksud. Tapi katanya sepatu itu nggak ada di rak yang biasa.
Dan ternyata sepatu itu memang nggak ada di manapun di rumah. Saya tahu setelah seminggu setelahnya, saya pulang ke Bandung dan mengubek-ubek seisi rumah. Jangankan sepatunya, dusnya pun nggak saya temukan. Aneh, padahal saya berani bilang rumah saya itu rapih. Nggak mungkin sepatu itu nyasar sampai ke dapur, misalnya. Sepatu -yang cuma saya pakai kalau ada undangan pernikahan- itu memang sudah lama nggak saya pakai.
Ya sudahlah, mungkin saya harus menerima kenyataan kalau sepatu itu bukan rezeki saya lagi. :(
Tapi, membaca tulisan Carissa, saya jadi sadar kalau saya bukan satu-satunya orang yang super rewel kalau mau beli tas/sepatu. Harus begini harus begitu. Masalahnya, saya ini tipikal one-bag woman dan one-shoes woman. Kalau sudah ketemu tas yang cocok, saya bisa setiap hari pakai tas yang sama sampai belel.
Nah, sepatu yang hilang itu sudah memenuhi semua kriteria yang saya inginkan:
- Strapped. Dengan tali yang nggak terlalu tebal, bahan kulit warna hitam dan nggak mengkilap.
- Ankle strap.
- Bagian depannya peep toe dan meruncing , tapi nggak terlalu runcing juga.
- Hak +- 7 cm, tapi bukan stiletto.
- Bermerk.
Kurang lebih seperti inilah. Sayang, harganya melebihi budget. Tapi nggak apalah, saya rela budget saya untuk belanja yang lain dikurangi demi si "perfect shoes".
Cuma satu kekurangannya: that shoes hurts like hell, and those heels are killing me! Bayangkan saja waktu saya harus berdiri berjam-jam pakai sepatu itu waktu jadi penerima tamu di pernikahan salah satu sahabat saya, Reswa. Sakitnya minta ampun!
Tapi toh saya bertahan dengan sepatu itu. Saya mencopotnya setiap setengah jam sekali. Saya mengoleskan lotion banyak-banyak di pergelangan kaki. Saya menyesuaikan diri.
Sebelum sepatu itu -entah bagaimana- nggak jadi milik saya lagi, dan waktunya saya harus mencari sepatu baru tiba.
Yang jelas, sampai sekarang nggak terhitung sudah berapa mall yang saya sambangi, tapi belum ketemu lagi sepatu yang benar-benar cocok... :(
Posted by Adisti Dini Indreswari at 1:24 AM 6 comments
Labels: my thoughts
22.11.10
Katanya, Kalau Berdoa Sama Tuhan Harus Spesifik
Saya pingin resign dari bank ini. Tanpa ditanya macam-macam sama bos atau HRD. Tanpa one month notice. Tanpa penalti. Terus pindah kerja ke stasiun TV. Jadi reporter berita. Atau di balik layar, di bagian produksi berita atau feature. Metro TV atau TV One atau Trans TV atau Trans 7 atau SCTV atau RCTI atau MNC TV atau Global TV atau antv. Atau koran Kompas, bolehlah. Yang gajinya besar. Setidaknya, lebih besar dari yang dulu. Paling lambat akhir bulan ini.
Posted by Adisti Dini Indreswari at 8:16 PM 6 comments
Labels: my job
9.11.10
...
Sebuah tweet di suatu malam yang galau:
Have I told you that I've moved on and don't care anymore about you? Well, I was actually lying.
Posted by Adisti Dini Indreswari at 7:32 AM 2 comments
Labels: my diary, my love life
7.11.10
Banyak Cerita, Banyak Kisah...
...tapi untuk saat ini, izinkan saya berbagi foto-foto ini dulu. Saya dan lima teman sesama wartawan Tempo yang membuat saya bertahan di tengah segala kegilaan. (Atau malah makin gila ya? :D)
Sebenarnya teman seangkatan saya bukan hanya mereka berlima, masih ada 15 orang lagi. Tapi cuma mereka-mereka ini yang merasakan "jatuh-bangun" bareng saya. Pertama kerja, kami langsung dijebloskan ke Desk Metro dan mesti panas-panasan meliput demo buruh di Tanjung Priuk, melihat bandeng (bahasa sandi polisi untuk mayat-red) korban kebakaran, dan berurusan dengan mutilasi atau vokalis band yang kedapatan membawa narkoba. Setelah itu, pusing bareng melihat deretan angka dan istilah ekonomi yang njelimet di Desk Ekonomi dan Bisnis. Terakhir, belajar berpolitik di Desk Nasional, sebelum akhirnya dua dari kami berhenti jadi wartawan.
I call them "The Five People Who Keep Me Sane". :)
Posted by Adisti Dini Indreswari at 6:13 PM 2 comments
Labels: my activities
24.10.10
RESIGN
Apa pekerjaan impian kamu?
Kalau ditanya begitu, saya akan menjawab malu-malu, sebab... umm... pekerjaan impian saya agak sulit diwujudkan. Pekerjaan impian saya adalah rock superstar! Pakai contact lense ala Marylin Monroe, bikin lirik lagu soal penguasa yang lalim, dan makan kelinci hidup-hidup di atas panggung. Pekerjaan impian saya yang lain adalah agen rahasia! Seperti Mrs. Smith atau tiga bidadari Charlie yang mahir memainkan pistol and kick some guy's ass sambil pakai stiletto. Cool banget nggak sih? ;;)
No, seriously.
Pekerjaan impian saya, dari dulu adalah wartawan. Saya ingin tulisan saya dibaca orang dan dijadikan rujukan, seperti Leila S. Chudori yang resensi filmnya terkenal tajam atau Ninok Leksono yang spesialis artikel sains. Saya ingin dikirim meliput peristiwa penting dari berbagai belahan dunia, seperti Meutya Hafid yang sempat disandera tentara Mujahidin segala. Saya ingin jadi pemimpin redaksi sekaligus penulis seperti Fira Basuki. Kalau itu, nggak terlalu sulit kan? ;;)
Just thought you should know, ini skema cita-cita saya setelah lulus kuliah:
1. Kerja di majalah lifestyle franchise, seperti Cosmopolitan atau Elle setahun.
2. Setelah itu kerja di koran/majalah berita, seperti Kompas atau Tempo satu-dua tahun.
3. Setelah itu kerja di stasiun TV berita, seperti Metro TV atau TV One sampai pensiun dan punya anak-cucu.
Dua pertama, alhamdulillah, sudah tercapai. Dan jangan dikira itu gampang.
Tapi toh akhirnya saya bisa menjalani pekerjaan impian saya. Seperti kata Confucius, "Choose a job you love, and you will never have to work a day in your life," saya memang nggak pernah merasa sedang "bekerja". Saya bebas bangun siang. Bebas pakai celana jeans dan sepatu Converse yang sama belelnya. Bebas nongkrong di food ourt Sarinah atau Taman Surapati sambil mengetik berita di saat orang lain mungkin sedang bosan-bosannya di kantor (Well, siapa butuh "kantor" kalau saya bisa bekerja dari BB atau laptop?). Bebas nongkrong bareng sesama wartawan sambil ngobrol ngalor ngidul dan merokok di pressroom, kantor polisi, bahkan pinggir jalan tanpa harus jaim.
Saya geli sendiri melihat teman-teman sekos yang kerja kantoran, yang harus bangun pagi dan berurusan dengan drama seperti, "Mana seragam gue yang mau disetrika? Mana bahan presentasi gue? &^%$#@$%^*&". Saya cuma bisa tersenyum sarkas membaca tweet orang-orang yang mengeluh soal pekerjaannya dan menunggu-nunggu datangnya weekend.
Ah, terlalu banyak cerita selama sembilan bulan jadi wartawan. Mungkin nanti saya akan bikin satu post khusus saja soal ini. :)
Lalu... apa? Setelah mimpi terwujud, lalu apa? Benarkah itu yang terbaik untuk kita? Akankah kita setia pada satu mimpi yang sama? Atau, bagaimana kalau kita terbangun dari mimpi dan mendapati ada realita di luar sana?
Siang itu, sehari setelah kaki saya terkilir (gara-gara bengong waktu turun dari metromini, ah sudahlah itu nggak penting :D), saya nggak liputan ke lapangan dan menghabiskan waktu di kantor saja. Redaktur Metro yang bertubuh tambun dan bertato itu memanggil saya ke mejanya. Dia lantas bertanya, apakah saya mau jadi wartawan sampai jangka waktu lama.
Saya bingung menjawabnya. Waktu itu saya masih jadi -meminjam istilah Radix- jurnabil alias jurnalis labil. Yah, saya akui masa-masa awal jadi wartawan memang sulit untuk saya. Dan mungkin redaktur itu sedikit-banyak bisa membacanya.
"Kamu tahu nggak, wartawan yang hebat itu yang gimana?" tanyanya kemudian.
"Nggak tau, mas."
"Wartawan yang hebat itu wartawan yang mencintai pekerjaannya, lalu berhenti jadi wartawan."
"Lho, kok malah hebat?"
"Ya hebat dong. Berarti kan dia mengorbankan hal yang dia suka. Misalnya begini, dia sebenarnya suka jadi wartawan, tapi gaji wartawan nggak cukup. Jadi dia pindah kerja ke tempat lain yang gajinya lebih besar. Atau begini, dia sebenarnya suka jadi wartawan, tapi susah ketemu keluarga dan anaknya karena jam kerja wartawan yang nggak jelas, nggak bisa diprediksi. Jadi dia cari kerjaan lain yang lebih teratur. Pasti berat sekali rasanya."
Kata-kata itu, saya jadikan salah satu pertimbangan sebelum resign. Per 1 Oktober ini. Dan pindah kerja ke... bank.
Sebenarnya itu bukan pekerjaan impian saya, tapi kalau saya pikir sekarang, berapa banyak sih orang di dunia ini yang bisa menjalani pekerjaan impiannya? Coba tanyakan pada mereka yang mesti berdiri tegap sepanjang hari di depan gerbang kedutaan besar yang menjulang angkuh, atau mereka yang mesti menyapu jalan dari dedaunan di siang yang terik. Apa itu pekerjaan impian mereka? Atau kalau mau lebih ekstrim lagi, coba tanyakan pada mereka yang menjual tubuhnya. Apa itu pekerjaan impian mereka? Saya pikir, hidup bukan hanya tentang mewujudkan mimpi, tapi juga, lebih penting dari itu, tentang mengambil pilihan. Tentang memanfaatkan kesempatan yang ada. Tentang bersyukur. Lalu melanjutkan hidup.
Jadi, dengan berbagai pertimbangan (dari yang paling dangkal seperti "Saya ingin kantor yang memungkinkan saya pakai high heels dan make up." sampai yang paling ambisius seperti "Saya ingin gaji yang cukup buat nyicil rumah sekian tahun lagi."), saya memutuskan untuk... RESIGN.
Sekarang saya tahu bahwa mewujudkan mimpi sama sekali nggak gampang, tapi melepaskannya jauh lebih nggak gampang lagi. Sekarang saya juga tahu bahwa, ibaratnya berperang, untuk terus berjuang atau mundur sama-sama butuh keberanian. Sebab kadang, mundur bukan berarti kalah, tapi mengalah untuk kebaikan. For a greater good.
(Ngomong-ngomong soal resign, saya jadi penasaran, bagaimana ya perasaaan orang lain waktu resign. Resign saya kemarin cukup heboh. Saya nangis di kantor, di meja redaktur yang sama, sebelum "diculik" teman-teman seangkatan ke tempat nongkrong kami di bilangan Langsat. Dan masih nangis sampai tiga hari berikutnya. :D)
Posted by Adisti Dini Indreswari at 8:21 AM 3 comments
Labels: my job, my thoughts
13.8.10
Ya Sudahlah...
Ketika mimpimu yang begitu indah tak bisa terwujud
Ya sudahlah
Saat kau berlari mengejar anganmu dan tak pernah sampai
Ya sudahlah
-Ya Sudahlah (Bondan Prakoso feat. Fade 2 Black)-
Mungkin saya sudah ratusan kali mendengar lagu itu. Di radio, di mall, di winamp komputer seseorang di kantor... Tapi baru tadi, seorang pengamen memilih posisi persis di sebelah kursi yang saya duduki di metromini, untuk memetik kunci gitar lagu itu. Saya mau tidak mau jadi ikut menyimak liriknya.
Dan... saya suka! :) Saya suka empat bait pertamanya. "Ya sudahlah." Dalam hidup, mungkin memang ada kalanya kita perlu mendengarnya dari mulut orang lain. Bukan sampah semacam "Kamu pasti bisa melakukannya" atau "Semuanya akan baik-baik saja". Mungkin memang ada kalanya kita kembali diingatkan untuk menapak tanah. Mungkin memang ada kalanya kita perlu rehat sejenak, setelah kaki ini letih berlari.
Ngomong-ngomong, seminggu yang lalu, saya baru ditampar oleh dua peristiwa, bahwa tidak semua mimpi bisa terwujud.
Tapi... ya sudahlah... (Selain malas mengungkit-ungkit lagi, juga malas mengetik. Sudah hampir jam 3 pagi ini... :D :D :D)
Posted by Adisti Dini Indreswari at 12:22 PM 1 comments
Labels: my diary
Dan Kita Bicara Tentang Mimpi...
"Kamu pernah nggak, mimpi jadi penyanyi?" tanyamu malam itu. Matamu tidak lepas dari panggung La Piazza, Kelapa Gading walaupun sang biduan wanita sudah turun, melangkah tergesa sambil mengenakan jaket di atas gaun pendeknya untuk melawan dingin malam. Yang tersisa tinggal beberapa teknisi membereskan kabel-kabel dan alat musik.
Dari binar matamu saja pun aku tahu, kamu ingin kamulah yang ada di atas panggung itu. Berteriak, berjingkrak. Bersinar. Menyerap energi dari gemuruhnya penonton yang terbius olehmu. Mendengar namamu dielu-elukan. Untuk sesaat, merasa menjadi raja dunia.
"Nggak pernah. Aku kan mimpinya jadi penulis," jawabku. "Tapi aku ngerti kok mimpi kamu."
Dan tanganmu pun semakin erat di pinggangku.
Baru empat bulan yang lalu, tapi kenapa rasanya sudah lama sekali ya?
Posted by Adisti Dini Indreswari at 12:18 PM 0 comments
Labels: my love life
2.7.10
Mencoba Menyapa
Percakapan di BBM...
Saya : Oi... Pa kabar, bos?
Saya : Domisili masih di ***?
Dia : Baik
Dia : Iye masih di *** aja
Saya : Masih kerja di ***?
Dia : Yup, masih
Saya : Okeee sukses deh...
Dia: Sukses juga
Harusnya saya tanya saja:
Kenapa Brazil bisa kalah dari Belanda di perempat final?
Apa yang harus dilakukan Kapolri untuk mengusut kasus rekening gendut perwira polisi?
Bagaimana kenaikan TDL akan memengaruhi pelaku UKM?
Mungkin kalau begitu, dia akan menjawab lebih dari satu-dua kata :D
Sudah setahun berlalu sejak saya memohon kamu untuk mengerti, sudah setahun berlalu sejak saya menangis di bahu kamu, sudah setahun berlalu sejak kita sama-sama menanggalkan jaket himpunan dan jaket almamater, saya sudah berganti-ganti pekerjaan (dari konsultan, desainer grafis amatiran, penulis lepas, sampai wartawan), saya sudah sempat melanjutkan kuliah (dan berhenti di tangah jalan), saya sudah mencoba menjalin hubungan dengan dua orang yang berbeda, ternyata kamu masih menganggap saya tidak ada.
Lebih baik kamu caci-maki-marah-marah-bentak-bentak saja saya. Saya akan merasa mendingan. Serius, deh.
Posted by Adisti Dini Indreswari at 8:01 PM 7 comments
Labels: my love life