Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun. Insomnia sering disebabkan oleh adanya suatu penyakit atau akibat adanya permasalahan psikologis. Dalam hal ini, bantuan medis atau psikologis akan diperlukan.
-Wikipedia-
Insomnia saya tidak sembuh-sembuh sudah sebulan lebih.
Sebelum ngekos di Jakarta, saya tipe orang yang menganggap pulang di atas Maghrib itu kemalaman, dan sudah ganti piyama-sikat gigi-pakai krim malam-berbaring manis di kasur jam 9.
Oh, well, dunia ini dan segala isinya memang berubah. Sekarang saya malah kagok kalau masuk kos sebelum jam 9. Sekarang saya belum bisa tidur kalau jarum jam belum menunjuk angka 2 atau 3. Bisa sih, tapi jadinya saya terbangun terus-terusan. Percaya deh, terbangun tengah malam hanya untuk merasakan sendirian di kamar kos 3 x 5 meter itu... ngelangut. Hasilnya? Saya selalu melewatkan Salat Subuh, terburu-buru ke lokasi liputan (syukur-syukur dapat proyeksi liputan siang), dan rasanya seperti jetlag sepanjang hari.
Izinkan saya menyalahkan jam kerja wartawan yang serba tidak jelas, belum lagi kalau kebagian piket malam. Sekarang orientasi waktu saya jadi kacau begini. :(
Berbagai usaha sudah saya coba untuk menunggu kantuk:
Baca, sudah.
Blogwalking, download lagu, main looklet atau polyvore, sudah. (Sayangnya, saya sedang tidak tertarik pada semua situs social networking)
Beres-beres kamar, sudah.
Merokok sendirian di kamar, sudah. (Yang akhirnya saya sesali karena kamar saya jadi bau asap. Baunya nggak hilang-hilang, huh!)
Sit up di kasur, dengan harapan besok paginya perut saya sudah rata, sudah.
Melanggar komitmen dengan menelepon atau meng-SMS kamu setiap setengah jam sekali, memastikan kamu baik-baik saja (di manapun sedang apapun bersama siapapun), dan menceritakan sedikit hari saya (entah kamu benar-benar mau tahu atau tidak), tentu saja sudah.
Lucunya, kalau ada orang lain, saya jadi bisa tidur. Waktu pulang ke Bandung, raker kantor di Puncak, liputan di Savoy Homan, ke rumah Eyang Semarang, saya selalu jadi yang tidur duluan dan bangun belakangan. ;p
A-ha! Timbul ide untuk mengajak teman-teman sekos pajamas party di kamar saya. Hihihi... lucu juga melihat mereka gotong-gotong kasur, bantal, dan selimut masing-masing. Kadang, saya menginap di tempat teman kalau malas pulang ke kos. Saya tidak mau tidur sendirian.
Dan, kadang, kalau semuanya sedang baik-baik saja dan setan bertanduk di kiri saya mengalahkan malaikat berhalo di sisi kanan, saya akan memilih untuk menghabiskan malam bersama kamu. Kamu selalu tidur duluan. Tangan kamu melingkar di perut saya, nafas kamu yang pendek-pendek terasa hangat di tengkuk saya. Dan saya selalu sok tidak mengantuk. Tapi lama-lama saya menyerah dan ikut tidur pulas di samping kamu. Selalu begitu.
Mau tahu perasaan paling membahagiakan di dunia? Bukan ketika berhasil mendaki puncak gunung tertinggi atau meraih medali emas (padahal saya belum pernah juga sih... ;p), tapi ketika melihat orang yang kita sayang sebelum menutup mata, dan melihatnya lagi ketika membuka mata.
Huff, insomnia ini membunuh saya pelan-pelan...
23.6.10
Tentang Insomnia
Posted by Adisti Dini Indreswari at 8:48 AM 8 comments
Labels: my diary, my love life
21.6.10
Minggu Pagi di Victoria Park yang Serba Realistis
Judul: Minggu Pagi di Victoria Park
Sutradara: Lola Amaria
Pemain: Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Damara, Donny Alamsyah
Produksi: Pic[K]Lock Productions
Saya sedang jenuh pada film-film berlatar dunia antah berantah yang mengumbar efek spesial yang memanjakan mata, berbiaya fantastis, tapi ketika keluar dari bioskop tidak meninggalkan kesan mendalam. Saya rindu film berlatar biasa saja tentang orang biasa saja. Film Indonesia, terutama.
Ah, tapi seandainya tidak begitu pun, nama Titi Sjuman yang didapuk jadi salah satu pemain utama sudah jadi alasan cukup kuat untuk menyeret saya menonton Minggu Pagi di Victoria Park. Sejak Mereka Bilang, Saya Monyet!, boleh dibilang saya jadi fans beratnya. ;)
Ketika tahu ini film soal TKW, yang terpikir oleh saya adalah: aduh, kasihan Titi Sjuman. Nanti pasti dia harus berakting dipukuli majikan, disetrika, disiram air panas... Tapi majikan (setidaknya yang ditampilkan dalam film ini) ternyata baik-baik tuh.
Oh, ternyata... itu sih TKW Arab. Sedangkan TKW Hong Kong masalahnya "hanya" seputar terjerat hutang sampai-sampai dicekal tidak bisa pulang ke negeri asal, luntang-lantung di negeri orang, dijadikan sapi perahan keluarga di kampung halaman, dan gegar budaya.
Saya memang bukan kritikus film profesional, tapi sebagai seorang penikmat film amatir, saya menilai film ini "pas". Ibarat makanan, ia tidak pedas, tidak kemanisan atau keasinan, tapi juga tidak hambar. Realistis lah. Tidak ada yang dramatis bak sinetron, bahkan ketika salah satu tokohnya baru saja bunuh diri. Tidak terlalu banyak polesan dari segi sinematografi ala film-film surealisme.
Mata saya terhibur melihat pemandangan pasar tradisional, deretan pertokoan, dan pelabuhan Hong Kong. Tapi pemandangan utama film ini tetap para TKW dengan anting besar berwarna mencolok dan rok mini, mengobrol dengan logat medok di Victoria Park. Kadang diselipi Bahasa Inggris yang tidak tepat. Sebuah Indonesia mini versi mereka.
Lola Amaria sudah tidak diragukan lagi sebagai sutradara. Tapi, maaf-maaf saja, saya terganggu sekali dengan aktingnya sebagai Mayang. Saya terganggu melihat tampangnya yang merengut terus dari awal sampai akhir film, saya terganggu mendengar logat Jawanya yang tidak pas. Duh! Mending merem dan menutup telinga saja deh kalau dia muncul!
Satu lagi, walaupun akting Donny Alamsyah sebagai Vincent sangat bagus, tapi rasanya kalau tokoh itu dihilangkan tidak akan memengaruhi cerita. Vincent yang rela jatuh bangun membantu Mayang -lalu jatuh cinta pada Mayang- tanpa alasan yang jelas malah jadi mengobrak-abrik logika cerita. Bilang saya sinis, tapi dari dulu saya memang tidak suka kisah tentang "upik abu buruk rupa yang mendapatkan pangeran tampan berkuda putih". Klise.
Sedangkan akting Titi Sjuman sebagai Sekar, baik waktu jadi gadis desa lugu yang baru berangkat jadi TKW, maupun waktu terpaksa merelakan keperawanannya di Hong Kong, pas sekali. Sayang, tokoh ini kurang dieksplor untuk menciptakan keterikatan emosional dengan penonton. Dari awal penonton sudah diberi tahu, si Sekar ini terjerat hutang, tapi yaa... terus kenapa?
Sesungguhnya, adegan klimaks film ini adalah epilog yang menampilkan potongan-potongan adegan pelatihan TKW, disertai narasi tertulis. Pesannya kena.
Maju terus film Indonesia! Hmmm, habis ini, Tanah Air Beta kayaknya bagus nih...
Posted by Adisti Dini Indreswari at 9:47 AM 2 comments
Labels: movie freak
5.6.10
Menyelami Kehidupan Wartawan Lewat 9 dari Nadira
Judul: 9 dari Nadira
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (cetakan pertama Oktober 2009)
“Inikah hari terbaik bertemu dengan-Mu.”
“Kami menemukan sosok yang telentang bukan karena sakit atau terjatuh, tetapi karena dia memutuskan: hari ini, aku bisa mati.”
Leila S. Chudori sudah membuka halaman pertama bukunya dengan sesuatu yang biasanya menjadi klimaks: kematian. Tokoh Ibu memilih mati bunuh diri. Tema yang masih jarang diangkat penulis Indonesia, sementara penulis kawakan Jepang, Haruki Murakami sudah lama memakainya di Norwegian Wood.
Lantas kita digiring memasuki konflik psikologis tokoh-tokohnya yang amat rumit. Nadira Suwandi bungsu dari tiga bersaudara. Ia wartawan majalah berita Tera. Ayahnya, Bram Suwandi, mantan wartawan senior yang bergulat dengan post-power syndrome, berasal dari keluarga sederhana fanatik Islam. Ibunya, Kemala Suwandi yang liberal, berasal dari keluarga pengusaha yang sekuler dan dekat dengan penguasa. Setiap kali keluarga besar Suwandi salat berjamaah, Kemala cukup ambil bagian dengan duduk di shaf terbelakang menggenggam seuntai tasbih (tasbih ini kelak jadi bagian penting dalam hidup Nadira). Si anak sulung, Nina Suwandi , amat perfeksionis dan “terancam” dengan keberadaan Nadira yang sejak kecil sudah menulis cerpen dan digadang-gadang sebagai penerus ayahnya. Nina dan Nadira tak pernah akur. Si anak tengah, Arya Suwandi, hmm... ibarat semangkuk es campur, Arya pastilah air mineral yang menetralkan semua. Ia kelewat “normal” di tengah-tengah keluarga Suwandi. Arya bandel, tapi juga yang paling religius di antara dua saudaranya.
Sayang, pembangunan plot dan penokohan yang sudah kuat di awal jadi mengendor di tengah. Buku ini jadi tak ubahnya kisah cinta biasa. Ah, bukankah kita sudah bosan dengan tema sejenis? Meskipun Leila tetap menghadirkannya dengan apik.
Kisah cinta itu hadir lewat sejumlah tokoh: Utara Bayu, Kepala Biro yang dingin dan punya hubungan tarik-ulur dengan Nadira; Kris, Desainer yang diam-diam menaruh perhatian pada Nadira; Niko Yuliar, mantan aktivis yang sempat menikah dengan Nadira sebelum akhirnya bercerai; Gilang Sukma, suami Nina yang mencoba menggoda Nadira; Marc Gillard, seseorang dari masa lalu; hingga sosok Panji (atau Kirana?) yang membawa Nadira pada dunia seksualitas yang tak pernah disentuhnya.
“Bisakah kita beberapa saat terlupa. Siapa engkau, siapa aku. Siapa malam, siapa siang. Siapa perempuan, siapa lelaki. Bisakah kita membebaskan diri. Dari semua nama-nama yang membatasi tubuh ini. Bisakah kita bergerak mengikuti hasrat?”
Leila S. Chudori kini menjabat Redaktur Senior di Tempo. Resensi filmnya yang terkenal tajam merupakan rubrik kedua yang saya baca setiap majalah Tempo terbit (setelah Laporan Utama, tentunya). Mungkin karena sekarang saya juga bekerja di Tempo, nuansa ketempoan sangat kental terasa di sini. Beberapa bagian rasanya begitu familiar: hiruk pikuk para Reporter, Redaktur, dan Desainer di kantor, Pemimpin Redaksi yang penyair, makan malam istimewa setiap tanggal 28 (karena tanggal 28 adalah sehari setelah tanggal 27, hehehe…), sampai rooftop tempat berkumpulnya para staf redaksi.
Banyak yang meyakini, Nadira sesungguhnya merupakan representasi Leila sendiri. Terlalu banyak kemiripannya untuk disebut kebetulan: sama-sama wartawan majalah berita, kuliah di Kanada, putri wartawan senior, bungsu dari tiga bersaudara, sudah menulis cerpen sejak kecil, dan punya anak tunggal. Mengenai Tera merupakan representasi Tempo, ini diakui Leila dalam ucapan terima kasihnya.
Yang jelas, sama seperti Jika Kami Bersama-nya Superman is Dead yang saya putar berulang kali dan saya jadikan ringtone, buku ini salah satu muse saya. Ketika harus melewati masa-masa sulit itu, memanggul ransel keluar masuk kantor polisi, saya membayangkan Leila juga harus seperti itu di awal karier jurnalistiknya (dalam kisah ini, Nadira memegang rubrik Hukum dan Kriminal). Kalau Leila bisa, kenapa saya tidak? :)
Similar to:
- Norwegian Wood (Haruki Murakami), The Virgin's Suicide (Jeffrey Eugenides), The Catcher in the Rye (J. D. Sallinger). Satu kata yang mewakili semua buku itu: gloomy. Sepertinya Leila memang menjadikan J. D. Sallinger salah satu inspirasinya, terbukti dengan seringnya nama penulis itu disebut.
- Karya-karya Djenar Maesa Ayu yang feminin dan sering menampilkan tokoh ibu sebagai sentral konflik.
- Film seri Dunia Tanpa Koma, yang skenarionya juga ditulis oleh Leila. Beberapa bagian di buku ini penggambarannya terlalu "sinetron". Percayalah, suasana saat rapat redaksi maupun mewawancarai narasumber tidak sedramatis itu kok. Dan setiap tokoh Utara Bayu muncul, yang langsung terbayang adalah Tora Sudiro yang berkemeja rapih dan klimis, yang terlalu gimanaaa gitu untuk jadi wartawan. :D
Rating: 5/5
Posted by Adisti Dini Indreswari at 8:26 AM 2 comments
Labels: bookworm