*untuk EVIRO edisi 4 (coming soon!)
Apa yang ada di benak anda ketika mendengar kata ‘sungai’? Perairan dengan arus tenang yang bersih, jernih, dan banyak ikan-ikan kecil yang berenang? Begitulah kondisi Sungai Cikapundung beberapa puluh tahun yang lalu. “Dulu sungai ini bersih banget, ada engkang (sejenis hewan air-red), saya juga suka berenang di sini,” aku Pak Agus, yang tinggal di tepi Sungai Cikapundung sejak tahun 1942, tepatnya di RT 9 RW 15, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Bandung.
Tapi lihatlah kondisi Sungai Cikapundung kini. Anak Sungai Citarum ini sudah sangat tercemar, terutama karena di tepinya berdiri pemukiman penduduk yang padat, contohnya di Kelurahan Tamansari tersebut. Airnya berwarna coklat keruh, dan banyak sampah di mana-mana. Saat saya melakukan observasi ke sana, seorang ibu tanpa ragu-ragu menumpahkan seluruh isi tempat sampahnya ke sungai, menambah kotor sungai yang tadinya sudah kotor. Kondisi ini diperparah oleh pipa-pipa dari kamar mandi penduduk yang menyalurkan air buangan langsung ke sungai. “Memang nggak ada aturan tiap warga harus bikin septic tank, jadi ya langsung dibuang ke sungai aja,” kata Pak Agus. Hal senada juga dikatakan oleh Bu Atik, yang tinggal tidak jauh dari Pak Agus. “Rumah-rumah di sini terlalu berdempet-dempet, nggak memungkinan buat bikin septic tank di bawah tanah.”
Sanitasi lingkungan yang demikian buruknya, tentu saja selain tidak nyaman sebagai lingkungan tempat tinggal juga potensial untuk mendatangkan berbagai penyakit, seperti diare, demam berdarah, typhus, TBC, dan lain-lain. Terutama pada musim hujan. Warga sudah terbiasa dengan luapan air sungai yang menggenangi rumah mereka setiap musim hujan. Padahal air tersebut sudah tercemar oleh air buangan, kadang-kadang juga membawa sampah. Pada musim kemarau keadaan tidak lebih baik. Karena kecilnya debit air yang mengalir, sampah jadi tertahan di badan sungai, akibatnya banyak nyamuk, lalat, dan tercium bau busuk.
Warga mengakui kurangnya perhatian Pemerintah. “Dulu waktu mau Peringatan Konferensi Asia Afrika, ada kegiatan bersih-bersih sungai, tapi setelah itu ya nggak ada lagi, sungainya kotor lagi,” kisah Bu Atik. Kalaupun ada perhatian, datangnya dari LSM KUJBS (Koalisi untuk Jawa Barat Sehat) yang memberi penyuluhan pada warga supaya tidak membuang sampah ke sungai. Namun demikian, masih ada saja warga yang bandel. “Susah juga sih, habis kalau retribusi kebersihan belum dibayar, sampah nggak diambil-ambil sama petugas kebersihan, padahal warga sini kebanyakan dari golongan menengah ke bawah, kadang kalau lagi nggak punya uang bingung juga, makanya sampahnya dibuang ke sungai aja,” kisah Bu Atik lagi.
Dapat kita simpulkan bahwa gaya hidup masyarakat sekitar Sungai Cikapundung yang tidak ramah lingkungan tersebut bukan karena ketidaktahuan mereka, tetapi karena tidak ada pilihan lain. Lagi-lagi, uang yang jadi masalah.
Saat ditanya harapannya, Pak Agus berkata bahwa ia ingin Sungai Cikapundung bisa kembali seperti dulu lagi. Ia sendiri tidak keberatan kalau dibuat peraturan yang ketat megenai kebersihan Sungai Cikapundung. “Misalnya yang buang sampah di sungai didenda.” Sedangkan Bu Atik menjawab, “Wah, saya mah pinginnya pindah aja dari sini, ha… ha…”
Tapi lihatlah kondisi Sungai Cikapundung kini. Anak Sungai Citarum ini sudah sangat tercemar, terutama karena di tepinya berdiri pemukiman penduduk yang padat, contohnya di Kelurahan Tamansari tersebut. Airnya berwarna coklat keruh, dan banyak sampah di mana-mana. Saat saya melakukan observasi ke sana, seorang ibu tanpa ragu-ragu menumpahkan seluruh isi tempat sampahnya ke sungai, menambah kotor sungai yang tadinya sudah kotor. Kondisi ini diperparah oleh pipa-pipa dari kamar mandi penduduk yang menyalurkan air buangan langsung ke sungai. “Memang nggak ada aturan tiap warga harus bikin septic tank, jadi ya langsung dibuang ke sungai aja,” kata Pak Agus. Hal senada juga dikatakan oleh Bu Atik, yang tinggal tidak jauh dari Pak Agus. “Rumah-rumah di sini terlalu berdempet-dempet, nggak memungkinan buat bikin septic tank di bawah tanah.”
Sanitasi lingkungan yang demikian buruknya, tentu saja selain tidak nyaman sebagai lingkungan tempat tinggal juga potensial untuk mendatangkan berbagai penyakit, seperti diare, demam berdarah, typhus, TBC, dan lain-lain. Terutama pada musim hujan. Warga sudah terbiasa dengan luapan air sungai yang menggenangi rumah mereka setiap musim hujan. Padahal air tersebut sudah tercemar oleh air buangan, kadang-kadang juga membawa sampah. Pada musim kemarau keadaan tidak lebih baik. Karena kecilnya debit air yang mengalir, sampah jadi tertahan di badan sungai, akibatnya banyak nyamuk, lalat, dan tercium bau busuk.
Warga mengakui kurangnya perhatian Pemerintah. “Dulu waktu mau Peringatan Konferensi Asia Afrika, ada kegiatan bersih-bersih sungai, tapi setelah itu ya nggak ada lagi, sungainya kotor lagi,” kisah Bu Atik. Kalaupun ada perhatian, datangnya dari LSM KUJBS (Koalisi untuk Jawa Barat Sehat) yang memberi penyuluhan pada warga supaya tidak membuang sampah ke sungai. Namun demikian, masih ada saja warga yang bandel. “Susah juga sih, habis kalau retribusi kebersihan belum dibayar, sampah nggak diambil-ambil sama petugas kebersihan, padahal warga sini kebanyakan dari golongan menengah ke bawah, kadang kalau lagi nggak punya uang bingung juga, makanya sampahnya dibuang ke sungai aja,” kisah Bu Atik lagi.
Dapat kita simpulkan bahwa gaya hidup masyarakat sekitar Sungai Cikapundung yang tidak ramah lingkungan tersebut bukan karena ketidaktahuan mereka, tetapi karena tidak ada pilihan lain. Lagi-lagi, uang yang jadi masalah.
Saat ditanya harapannya, Pak Agus berkata bahwa ia ingin Sungai Cikapundung bisa kembali seperti dulu lagi. Ia sendiri tidak keberatan kalau dibuat peraturan yang ketat megenai kebersihan Sungai Cikapundung. “Misalnya yang buang sampah di sungai didenda.” Sedangkan Bu Atik menjawab, “Wah, saya mah pinginnya pindah aja dari sini, ha… ha…”