29.11.10

"Perfect Shoes"

Membaca tulisan Carissa yang ini, saya jadi ingat waktu sepatu saya hilang.

Iya, sepatu saya hilang. Dan saya baru sadar waktu seorang teman meminta saya menemaninya ke pernikahan temannya, sekitar sebulan yang lalu.
(Sebenarnya kalimat di atas bisa diperumit menjadi, "Adik (tapi bukan adik kandung) mantan saya meminta saya menemaninya ke pernikahan teman lama yang pernah ditaksirnya." Tapi karena hidup ini sendiri sudah cukup rumit, mari kita sederhanakan saja... ^^)

Acara itu di Jakarta, sementara semua sepatu pesta saya ditinggal di Bandung. H-1, saya baru menelepon Mama, memintanya mengirim sepatu yang dimaksud. Tapi katanya sepatu itu nggak ada di rak yang biasa.

Dan ternyata sepatu itu memang nggak ada di manapun di rumah. Saya tahu setelah seminggu setelahnya, saya pulang ke Bandung dan mengubek-ubek seisi rumah. Jangankan sepatunya, dusnya pun nggak saya temukan. Aneh, padahal saya berani bilang rumah saya itu rapih. Nggak mungkin sepatu itu nyasar sampai ke dapur, misalnya. Sepatu -yang cuma saya pakai kalau ada undangan pernikahan- itu memang sudah lama nggak saya pakai.

Ya sudahlah, mungkin saya harus menerima kenyataan kalau sepatu itu bukan rezeki saya lagi. :(

Tapi, membaca tulisan Carissa, saya jadi sadar kalau saya bukan satu-satunya orang yang super rewel kalau mau beli tas/sepatu. Harus begini harus begitu. Masalahnya, saya ini tipikal one-bag woman dan one-shoes woman. Kalau sudah ketemu tas yang cocok, saya bisa setiap hari pakai tas yang sama sampai belel.

Nah, sepatu yang hilang itu sudah memenuhi semua kriteria yang saya inginkan:
- Strapped. Dengan tali yang nggak terlalu tebal, bahan kulit warna hitam dan nggak mengkilap.
- Ankle strap.
- Bagian depannya peep toe dan meruncing , tapi nggak terlalu runcing juga.
- Hak +- 7 cm, tapi bukan stiletto.
- Bermerk.

Kurang lebih seperti inilah. Sayang, harganya melebihi budget. Tapi nggak apalah, saya rela budget saya untuk belanja yang lain dikurangi demi si "perfect shoes".


Cuma satu kekurangannya: that shoes hurts like hell, and those heels are killing me! Bayangkan saja waktu saya harus berdiri berjam-jam pakai sepatu itu waktu jadi penerima tamu di pernikahan salah satu sahabat saya, Reswa. Sakitnya minta ampun!

Tapi toh saya bertahan dengan sepatu itu. Saya mencopotnya setiap setengah jam sekali. Saya mengoleskan lotion banyak-banyak di pergelangan kaki. Saya menyesuaikan diri.

Sebelum sepatu itu -entah bagaimana- nggak jadi milik saya lagi, dan waktunya saya harus mencari sepatu baru tiba.





... mungkin nggak sih hal yang sama berlaku untuk jodoh?



Yang jelas, sampai sekarang nggak terhitung sudah berapa mall yang saya sambangi, tapi belum ketemu lagi sepatu yang benar-benar cocok... :(

22.11.10

Katanya, Kalau Berdoa Sama Tuhan Harus Spesifik

Karena itu, ya Tuhan, daripada saya memohon yang standar seperti "diberi yang terbaik", lebih baik saya memohon: 

Saya pingin resign dari bank ini. Tanpa ditanya macam-macam sama bos atau HRD. Tanpa one month notice. Tanpa penalti. Terus pindah kerja ke stasiun TV. Jadi reporter berita. Atau di balik layar, di bagian produksi berita atau feature. Metro TV atau TV One atau Trans TV atau Trans 7 atau SCTV atau RCTI atau MNC TV atau Global TV atau antv. Atau koran Kompas, bolehlah. Yang gajinya besar. Setidaknya, lebih besar dari yang dulu. Paling lambat akhir bulan ini.

Saya tidak tahu apa itu yang terbaik buat saya. Saya tidak mau tahu. Saya cuma pingin itu terwujud.




Ya, Tuhan ya?

9.11.10

...

Sebuah tweet di suatu malam yang galau:

Have I told you that I've moved on and don't care anymore about you? Well, I was actually lying.





bukan. aku bukannya mau bilang belum bisa melupakan kamu.

aku cuma mau bilang, kamu masih ada di mana-mana. keringatmu masih menempel di sprei dan sarung bantal dan selimut yang kupakai tidur. bekas bibirmu masih ada di gelas yang kupakai minum dan rokok yang kuhisap. helai rambutmu masih tertinggal di jaket favoritku. bahkan aroma nafas dan hangat tubuhmu masih berserakan di setiap sudut kota yang kudatangi. juga bekas genggaman tanganmu masih terasa erat di sela-sela jemariku.

kamu. ada di mana-mana. dan tak mau pergi.

7.11.10

Banyak Cerita, Banyak Kisah...

...tapi untuk saat ini, izinkan saya berbagi foto-foto ini dulu. Saya dan lima teman sesama wartawan Tempo yang membuat saya bertahan di tengah segala kegilaan. (Atau malah makin gila ya? :D)

Sebenarnya teman seangkatan saya bukan hanya mereka berlima, masih ada 15 orang lagi. Tapi cuma mereka-mereka ini yang merasakan "jatuh-bangun" bareng saya. Pertama kerja, kami langsung dijebloskan ke Desk Metro dan mesti panas-panasan meliput demo buruh di Tanjung Priuk, melihat bandeng (bahasa sandi polisi untuk mayat-red) korban kebakaran, dan berurusan dengan mutilasi atau vokalis band yang kedapatan membawa narkoba. Setelah itu, pusing bareng melihat deretan angka dan istilah ekonomi yang njelimet di Desk Ekonomi dan Bisnis. Terakhir, belajar berpolitik di Desk Nasional, sebelum akhirnya dua dari kami berhenti jadi wartawan.

I call them "The Five People Who Keep Me Sane". :)

vitri - saya - ririn - febri - dika - muti

24.10.10

RESIGN


Apa pekerjaan impian kamu?

Kalau ditanya begitu, saya akan menjawab malu-malu, sebab... umm... pekerjaan impian saya agak sulit diwujudkan. Pekerjaan impian saya adalah rock superstar! Pakai contact lense ala Marylin Monroe, bikin lirik lagu soal penguasa yang lalim, dan makan kelinci hidup-hidup di atas panggung. Pekerjaan impian saya yang lain adalah agen rahasia! Seperti Mrs. Smith atau tiga bidadari Charlie yang mahir memainkan pistol and kick some guy's ass sambil pakai stiletto. Cool banget nggak sih? ;;)

No, seriously.

Pekerjaan impian saya, dari dulu adalah wartawan. Saya ingin tulisan saya dibaca orang dan dijadikan rujukan, seperti Leila S. Chudori yang resensi filmnya terkenal tajam atau Ninok Leksono yang spesialis artikel sains. Saya ingin dikirim meliput peristiwa penting dari berbagai belahan dunia, seperti Meutya Hafid yang sempat disandera tentara Mujahidin segala. Saya ingin jadi pemimpin redaksi sekaligus penulis seperti Fira Basuki. Kalau itu, nggak terlalu sulit kan? ;;)

Just thought you should know, ini skema cita-cita saya setelah lulus kuliah:
1. Kerja di majalah lifestyle franchise, seperti Cosmopolitan atau Elle setahun.
2. Setelah itu kerja di koran/majalah berita, seperti Kompas atau Tempo satu-dua tahun.
3. Setelah itu kerja di stasiun TV berita, seperti Metro TV atau TV One sampai pensiun dan punya anak-cucu.

Dua pertama, alhamdulillah, sudah tercapai. Dan jangan dikira itu gampang.

Tapi toh akhirnya saya bisa menjalani pekerjaan impian saya. Seperti kata Confucius, "Choose a job you love, and you will never have to work a day in your life," saya memang nggak pernah merasa sedang "bekerja". Saya bebas bangun siang. Bebas pakai celana jeans dan sepatu Converse yang sama belelnya. Bebas nongkrong di food ourt Sarinah atau Taman Surapati sambil mengetik berita di saat orang lain mungkin sedang bosan-bosannya di kantor (Well, siapa butuh "kantor" kalau saya bisa bekerja dari BB atau laptop?). Bebas nongkrong bareng sesama wartawan sambil ngobrol ngalor ngidul dan merokok di pressroom, kantor polisi, bahkan pinggir jalan tanpa harus jaim.

Saya geli sendiri melihat teman-teman sekos yang kerja kantoran, yang harus bangun pagi dan berurusan dengan drama seperti, "Mana seragam gue yang mau disetrika? Mana bahan presentasi gue? &^%$#@$%^*&". Saya cuma bisa tersenyum sarkas membaca tweet orang-orang yang mengeluh soal pekerjaannya dan menunggu-nunggu datangnya weekend.

Ah, terlalu banyak cerita selama sembilan bulan jadi wartawan. Mungkin nanti saya akan bikin satu post khusus saja soal ini. :)



Lalu... apa? Setelah mimpi terwujud, lalu apa? Benarkah itu yang terbaik untuk kita? Akankah kita setia pada satu mimpi yang sama? Atau, bagaimana kalau kita terbangun dari mimpi dan mendapati ada realita di luar sana?

***

Siang itu, sehari setelah kaki saya terkilir (gara-gara bengong waktu turun dari metromini, ah sudahlah itu nggak penting :D), saya nggak liputan ke lapangan dan menghabiskan waktu di kantor saja. Redaktur Metro yang bertubuh tambun dan bertato itu memanggil saya ke mejanya. Dia lantas bertanya, apakah saya mau jadi wartawan sampai jangka waktu lama.

Saya bingung menjawabnya. Waktu itu saya masih jadi -meminjam istilah Radix- jurnabil alias jurnalis labil. Yah, saya akui masa-masa awal jadi wartawan memang sulit untuk saya. Dan mungkin redaktur itu sedikit-banyak bisa membacanya.

"Kamu tahu nggak, wartawan yang hebat itu yang gimana?" tanyanya kemudian.

"Nggak tau, mas."

"Wartawan yang hebat itu wartawan yang mencintai pekerjaannya, lalu berhenti jadi wartawan."

"Lho, kok malah hebat?"

"Ya hebat dong. Berarti kan dia mengorbankan hal yang dia suka. Misalnya begini, dia sebenarnya suka jadi wartawan, tapi gaji wartawan nggak cukup. Jadi dia pindah kerja ke tempat lain yang gajinya lebih besar. Atau begini, dia sebenarnya suka jadi wartawan, tapi susah ketemu keluarga dan anaknya karena jam kerja wartawan yang nggak jelas, nggak bisa diprediksi. Jadi dia cari kerjaan lain yang lebih teratur. Pasti berat sekali rasanya."

***

Kata-kata itu, saya jadikan salah satu pertimbangan sebelum resign. Per 1 Oktober ini. Dan pindah kerja ke... bank.

Sebenarnya itu bukan pekerjaan impian saya, tapi kalau saya pikir sekarang, berapa banyak sih orang di dunia ini yang bisa menjalani pekerjaan impiannya? Coba tanyakan pada mereka yang mesti berdiri tegap sepanjang hari di depan gerbang kedutaan besar yang menjulang angkuh, atau mereka yang mesti menyapu jalan dari dedaunan di siang yang terik. Apa itu pekerjaan impian mereka? Atau kalau mau lebih ekstrim lagi, coba tanyakan pada mereka yang menjual tubuhnya. Apa itu pekerjaan impian mereka? Saya pikir, hidup bukan hanya tentang mewujudkan mimpi, tapi juga, lebih penting dari itu, tentang mengambil pilihan. Tentang memanfaatkan kesempatan yang ada. Tentang bersyukur. Lalu melanjutkan hidup.

Jadi, dengan berbagai pertimbangan (dari yang paling dangkal seperti "Saya ingin kantor yang memungkinkan saya pakai high heels dan make up." sampai yang paling ambisius seperti "Saya ingin gaji yang cukup buat nyicil rumah sekian tahun lagi."), saya memutuskan untuk... RESIGN.

Sekarang saya tahu bahwa mewujudkan mimpi sama sekali nggak gampang, tapi melepaskannya jauh lebih nggak gampang lagi. Sekarang saya juga tahu bahwa, ibaratnya berperang, untuk terus berjuang atau mundur sama-sama butuh keberanian. Sebab kadang, mundur bukan berarti kalah, tapi mengalah untuk kebaikan. For a greater good.





(Ngomong-ngomong soal resign, saya jadi penasaran, bagaimana ya perasaaan orang lain waktu resign. Resign saya kemarin cukup heboh. Saya nangis di kantor, di meja redaktur yang sama, sebelum "diculik" teman-teman seangkatan ke tempat nongkrong kami di bilangan Langsat. Dan masih nangis sampai tiga hari berikutnya. :D)

13.8.10

Ya Sudahlah...

Ketika mimpimu yang begitu indah tak bisa terwujud
Ya sudahlah
Saat kau berlari mengejar anganmu dan tak pernah sampai
Ya sudahlah
-Ya Sudahlah (Bondan Prakoso feat. Fade 2 Black)-

Mungkin saya sudah ratusan kali mendengar lagu itu. Di radio, di mall, di winamp komputer seseorang di kantor... Tapi baru tadi, seorang pengamen memilih posisi persis di sebelah kursi yang saya duduki di metromini, untuk memetik kunci gitar lagu itu. Saya mau tidak mau jadi ikut menyimak liriknya.

Dan... saya suka! :) Saya suka empat bait pertamanya. "Ya sudahlah." Dalam hidup, mungkin memang ada kalanya kita perlu mendengarnya dari mulut orang lain. Bukan sampah semacam "Kamu pasti bisa melakukannya" atau "Semuanya akan baik-baik saja". Mungkin memang ada kalanya kita kembali diingatkan untuk menapak tanah. Mungkin memang ada kalanya kita perlu rehat sejenak, setelah kaki ini letih berlari.

Ngomong-ngomong, seminggu yang lalu, saya baru ditampar oleh dua peristiwa, bahwa tidak semua mimpi bisa terwujud.

Tapi... ya sudahlah... (Selain malas mengungkit-ungkit lagi, juga malas mengetik. Sudah hampir jam 3 pagi ini... :D :D :D)

Dan Kita Bicara Tentang Mimpi...

"Kamu pernah nggak, mimpi jadi penyanyi?" tanyamu malam itu. Matamu tidak lepas dari panggung La Piazza, Kelapa Gading walaupun sang biduan wanita sudah turun, melangkah tergesa sambil mengenakan jaket di atas gaun pendeknya untuk melawan dingin malam. Yang tersisa tinggal beberapa teknisi membereskan kabel-kabel dan alat musik.

Dari binar matamu saja pun aku tahu, kamu ingin kamulah yang ada di atas panggung itu. Berteriak, berjingkrak. Bersinar. Menyerap energi dari gemuruhnya penonton yang terbius olehmu. Mendengar namamu dielu-elukan. Untuk sesaat, merasa menjadi raja dunia.

"Nggak pernah. Aku kan mimpinya jadi penulis," jawabku. "Tapi aku ngerti kok mimpi kamu."

Dan tanganmu pun semakin erat di pinggangku.





Baru empat bulan yang lalu, tapi kenapa rasanya sudah lama sekali ya?

2.7.10

Mencoba Menyapa

Percakapan di BBM...
Saya : Oi... Pa kabar, bos?

Saya : Domisili masih di ***?
Dia : Baik
Dia : Iye masih di *** aja
Saya : Masih kerja di ***?
Dia : Yup, masih
Saya : Okeee sukses deh...
Dia: Sukses juga


Harusnya saya tanya saja:
Kenapa Brazil bisa kalah dari Belanda di perempat final?
Apa yang harus dilakukan Kapolri untuk mengusut kasus rekening gendut perwira polisi?
 
Bagaimana kenaikan TDL akan memengaruhi pelaku UKM?
 
Mungkin kalau begitu, dia akan menjawab lebih dari satu-dua kata :D

***

Sudah setahun berlalu sejak saya memohon kamu untuk mengerti, sudah setahun berlalu sejak saya menangis di bahu kamu, sudah setahun berlalu sejak kita sama-sama menanggalkan jaket himpunan dan jaket almamater, saya sudah berganti-ganti pekerjaan (dari konsultan, desainer grafis amatiran, penulis lepas, sampai wartawan), saya sudah sempat melanjutkan kuliah (dan berhenti di tangah jalan), saya sudah mencoba menjalin hubungan dengan dua orang yang berbeda, ternyata kamu masih menganggap saya tidak ada.

Lebih baik kamu caci-maki-marah-marah-bentak-bentak saja saya. Saya akan merasa mendingan. Serius, deh.

23.6.10

Tentang Insomnia

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun. Insomnia sering disebabkan oleh adanya suatu penyakit atau akibat adanya permasalahan psikologis. Dalam hal ini, bantuan medis atau psikologis akan diperlukan.
-
Wikipedia-

Insomnia saya tidak sembuh-sembuh sudah sebulan lebih.

Sebelum ngekos di Jakarta, saya tipe orang yang menganggap pulang di atas Maghrib itu kemalaman, dan sudah ganti piyama-sikat gigi-pakai krim malam-berbaring manis di kasur jam 9.

Oh, well, dunia ini dan segala isinya memang berubah. Sekarang saya malah kagok kalau masuk kos sebelum jam 9. Sekarang saya belum bisa tidur kalau jarum jam belum menunjuk angka 2 atau 3. Bisa sih, tapi jadinya saya terbangun terus-terusan. Percaya deh, terbangun tengah malam hanya untuk merasakan sendirian di kamar kos 3 x 5 meter itu... ngelangut. Hasilnya? Saya selalu melewatkan Salat Subuh, terburu-buru ke lokasi liputan (syukur-syukur dapat proyeksi liputan siang), dan rasanya seperti jetlag sepanjang hari.

Izinkan saya menyalahkan jam kerja wartawan yang serba tidak jelas, belum lagi kalau kebagian piket malam. Sekarang orientasi waktu saya jadi kacau begini. :(

Berbagai usaha sudah saya coba untuk menunggu kantuk:
Baca, sudah.
Blogwalking, download lagu, main looklet atau polyvore, sudah. (Sayangnya, saya sedang tidak tertarik pada semua situs social networking)
Beres-beres kamar, sudah.
Merokok sendirian di kamar, sudah. (Yang akhirnya saya sesali karena kamar saya jadi bau asap. Baunya nggak hilang-hilang, huh!)
Sit up di kasur, dengan harapan besok paginya perut saya sudah rata, sudah.
Melanggar komitmen dengan menelepon atau meng-SMS kamu setiap setengah jam sekali, memastikan kamu baik-baik saja (di manapun sedang apapun bersama siapapun), dan menceritakan sedikit hari saya (entah kamu benar-benar mau tahu atau tidak), tentu saja sudah.

Lucunya, kalau ada orang lain, saya jadi bisa tidur. Waktu pulang ke Bandung, raker kantor di Puncak, liputan di Savoy Homan, ke rumah Eyang Semarang, saya selalu jadi yang tidur duluan dan bangun belakangan. ;p

A-ha! Timbul ide untuk mengajak teman-teman sekos pajamas party di kamar saya. Hihihi... lucu juga melihat mereka gotong-gotong kasur, bantal, dan selimut masing-masing. Kadang, saya menginap di tempat teman kalau malas pulang ke kos. Saya tidak mau tidur sendirian.

Dan, kadang, kalau semuanya sedang baik-baik saja dan setan bertanduk di kiri saya mengalahkan malaikat berhalo di sisi kanan, saya akan memilih untuk menghabiskan malam bersama kamu. Kamu selalu tidur duluan. Tangan kamu melingkar di perut saya, nafas kamu yang pendek-pendek terasa hangat di tengkuk saya. Dan saya selalu sok tidak mengantuk. Tapi lama-lama saya menyerah dan ikut tidur pulas di samping kamu. Selalu begitu.

Mau tahu perasaan paling membahagiakan di dunia? Bukan ketika berhasil mendaki puncak gunung tertinggi atau meraih medali emas (padahal saya belum pernah juga sih... ;p), tapi ketika melihat orang yang kita sayang sebelum menutup mata, dan melihatnya lagi ketika membuka mata.





Huff, insomnia ini membunuh saya pelan-pelan...

21.6.10

Minggu Pagi di Victoria Park yang Serba Realistis


Judul: Minggu Pagi di Victoria Park
Sutradara: Lola Amaria
Pemain: Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Damara, Donny Alamsyah
Produksi: Pic[K]Lock Productions

 
Saya sedang jenuh pada film-film berlatar dunia antah berantah yang mengumbar efek spesial yang memanjakan mata, berbiaya fantastis, tapi ketika keluar dari bioskop tidak meninggalkan kesan mendalam. Saya rindu film berlatar biasa saja tentang orang biasa saja. Film Indonesia, terutama.

Ah, tapi seandainya tidak begitu pun, nama Titi Sjuman yang didapuk jadi salah satu pemain utama sudah jadi alasan cukup kuat untuk menyeret saya menonton Minggu Pagi di Victoria Park. Sejak Mereka Bilang, Saya Monyet!, boleh dibilang saya jadi fans beratnya. ;)

Ketika tahu ini film soal TKW, yang terpikir oleh saya adalah: aduh, kasihan Titi Sjuman. Nanti pasti dia harus berakting dipukuli majikan, disetrika, disiram air panas... Tapi majikan (setidaknya yang ditampilkan dalam film ini) ternyata baik-baik tuh.

Oh, ternyata... itu sih TKW Arab. Sedangkan TKW Hong Kong masalahnya "hanya" seputar terjerat hutang sampai-sampai dicekal tidak bisa pulang ke negeri asal, luntang-lantung di negeri orang, dijadikan sapi perahan keluarga di kampung halaman, dan gegar budaya.

Saya memang bukan kritikus film profesional, tapi sebagai seorang penikmat film amatir, saya menilai film ini "pas". Ibarat makanan, ia tidak pedas, tidak kemanisan atau keasinan, tapi juga tidak hambar. Realistis lah. Tidak ada yang dramatis bak sinetron, bahkan ketika salah satu tokohnya baru saja bunuh diri. Tidak terlalu banyak polesan dari segi sinematografi ala film-film surealisme.

Mata saya terhibur melihat pemandangan pasar tradisional, deretan pertokoan, dan pelabuhan Hong Kong. Tapi pemandangan utama film ini tetap para TKW dengan anting besar berwarna mencolok dan rok mini, mengobrol dengan logat medok di Victoria Park. Kadang diselipi Bahasa Inggris yang tidak tepat. Sebuah Indonesia mini versi mereka.

Lola Amaria sudah tidak diragukan lagi sebagai sutradara. Tapi, maaf-maaf saja, saya terganggu sekali dengan aktingnya sebagai Mayang. Saya terganggu melihat tampangnya yang merengut terus dari awal sampai akhir film, saya terganggu mendengar logat Jawanya yang tidak pas. Duh! Mending merem dan menutup telinga saja deh kalau dia muncul!

Satu lagi, walaupun akting Donny Alamsyah sebagai Vincent sangat bagus, tapi rasanya kalau tokoh itu dihilangkan tidak akan memengaruhi cerita. Vincent yang rela jatuh bangun membantu Mayang -lalu jatuh cinta pada Mayang- tanpa alasan yang jelas malah jadi mengobrak-abrik logika cerita. Bilang saya sinis, tapi dari dulu saya memang tidak suka kisah tentang "upik abu buruk rupa yang mendapatkan pangeran tampan berkuda putih". Klise.

Sedangkan akting Titi Sjuman sebagai Sekar, baik waktu jadi gadis desa lugu yang baru berangkat jadi TKW, maupun waktu terpaksa merelakan keperawanannya di Hong Kong, pas sekali. Sayang, tokoh ini kurang dieksplor untuk menciptakan keterikatan emosional dengan penonton. Dari awal penonton sudah diberi tahu, si Sekar ini terjerat hutang, tapi yaa... terus kenapa?

Sesungguhnya, adegan klimaks film ini adalah epilog yang menampilkan potongan-potongan adegan pelatihan TKW, disertai narasi tertulis. Pesannya kena.

Maju terus film Indonesia! Hmmm, habis ini, Tanah Air Beta kayaknya bagus nih...

5.6.10

Menyelami Kehidupan Wartawan Lewat 9 dari Nadira


Judul: 9 dari Nadira
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (cetakan pertama Oktober 2009)


Inikah hari terbaik bertemu dengan-Mu.”
“Kami menemukan sosok yang telentang bukan karena sakit atau terjatuh, tetapi karena dia memutuskan: hari ini, aku bisa mati.”

Leila S. Chudori sudah membuka halaman pertama bukunya dengan sesuatu yang biasanya menjadi klimaks: kematian. Tokoh Ibu memilih mati bunuh diri. Tema yang masih jarang diangkat penulis Indonesia, sementara penulis kawakan Jepang, Haruki Murakami sudah lama memakainya di Norwegian Wood.

Lantas kita digiring memasuki konflik psikologis tokoh-tokohnya yang amat rumit. Nadira Suwandi bungsu dari tiga bersaudara. Ia wartawan majalah berita Tera. Ayahnya, Bram Suwandi, mantan wartawan senior yang bergulat dengan post-power syndrome, berasal dari keluarga sederhana fanatik Islam. Ibunya, Kemala Suwandi yang liberal, berasal dari keluarga pengusaha yang sekuler dan dekat dengan penguasa. Setiap kali keluarga besar Suwandi salat berjamaah, Kemala cukup ambil bagian dengan duduk di shaf terbelakang menggenggam seuntai tasbih (tasbih ini kelak jadi bagian penting dalam hidup Nadira). Si anak sulung, Nina Suwandi , amat perfeksionis dan “terancam” dengan keberadaan Nadira yang sejak kecil sudah menulis cerpen dan digadang-gadang sebagai penerus ayahnya. Nina dan Nadira tak pernah akur. Si anak tengah, Arya Suwandi, hmm... ibarat semangkuk es campur, Arya pastilah air mineral yang menetralkan semua. Ia kelewat “normal” di tengah-tengah keluarga Suwandi. Arya bandel, tapi juga yang paling religius di antara dua saudaranya.

Sayang, pembangunan plot dan penokohan yang sudah kuat di awal jadi mengendor di tengah. Buku ini jadi tak ubahnya kisah cinta biasa. Ah, bukankah kita sudah bosan dengan tema sejenis? Meskipun Leila tetap menghadirkannya dengan apik.

Kisah cinta itu hadir lewat sejumlah tokoh: Utara Bayu, Kepala Biro yang dingin dan punya hubungan tarik-ulur dengan Nadira; Kris, Desainer yang diam-diam menaruh perhatian pada Nadira; Niko Yuliar, mantan aktivis yang sempat menikah dengan Nadira sebelum akhirnya bercerai; Gilang Sukma, suami Nina yang mencoba menggoda Nadira; Marc Gillard, seseorang dari masa lalu; hingga sosok Panji (atau Kirana?) yang membawa Nadira pada dunia seksualitas yang tak pernah disentuhnya.


“Bisakah kita beberapa saat terlupa. Siapa engkau, siapa aku. Siapa malam, siapa siang. Siapa perempuan, siapa lelaki. Bisakah kita membebaskan diri. Dari semua nama-nama yang membatasi tubuh ini. Bisakah kita bergerak mengikuti hasrat?”

Leila S. Chudori kini menjabat Redaktur Senior di Tempo. Resensi filmnya yang terkenal tajam merupakan rubrik kedua yang saya baca setiap majalah Tempo terbit (setelah Laporan Utama, tentunya). Mungkin karena sekarang saya juga bekerja di Tempo, nuansa ketempoan sangat kental terasa di sini. Beberapa bagian rasanya begitu familiar: hiruk pikuk para Reporter, Redaktur, dan Desainer di kantor, Pemimpin Redaksi yang penyair, makan malam istimewa setiap tanggal 28 (karena tanggal 28 adalah sehari setelah tanggal 27, hehehe…), sampai rooftop tempat berkumpulnya para staf redaksi.

Banyak yang meyakini, Nadira sesungguhnya merupakan representasi Leila sendiri. Terlalu banyak kemiripannya untuk disebut kebetulan: sama-sama wartawan majalah berita, kuliah di Kanada, putri wartawan senior, bungsu dari tiga bersaudara, sudah menulis cerpen sejak kecil, dan punya anak tunggal. Mengenai Tera merupakan representasi Tempo, ini diakui Leila dalam ucapan terima kasihnya.

Yang jelas, sama seperti Jika Kami Bersama-nya Superman is Dead yang saya putar berulang kali dan saya jadikan ringtone, buku ini salah satu muse saya. Ketika harus melewati masa-masa sulit itu, memanggul ransel keluar masuk kantor polisi, saya membayangkan Leila juga harus seperti itu di awal karier jurnalistiknya (dalam kisah ini, Nadira memegang rubrik Hukum dan Kriminal). Kalau Leila bisa, kenapa saya tidak? :)

Dengan kepiawaiannya merangkai kata, Leila menjadikan buku ini sama sekali tidak membosankan. Tidak semua kisah di buku ini menggunakan sudut pandang Nadira, tapi juga Bram, Kemala, Nina, dan Kris (lengkap dengan coretan sketsanya). Juga, Leila menunjukkan kekayaannya akan referensi budaya: mulai dari filsuf Perancis Simone de Beauvoir sampai sastrawan Virginia Woolf yang tewas mengenaskan, mulai dari legenda Panji Semirang sampai Freddy Mercury-nya Queen disebut-sebut dalam buku ini. Bahkan di ucapan terima kasihnya, Leila juga menyebut band indie masa kini, Everybody Loves Irene dan The Trees and the Wild menemaninya selama masa penulisan!

Similar to: 
  • Norwegian Wood (Haruki Murakami), The Virgin's Suicide (Jeffrey Eugenides), The Catcher in the Rye (J. D. Sallinger). Satu kata yang mewakili semua buku itu: gloomy. Sepertinya Leila memang menjadikan J. D. Sallinger salah satu inspirasinya, terbukti dengan seringnya nama penulis itu disebut. 
  • Karya-karya Djenar Maesa Ayu yang feminin dan sering menampilkan tokoh ibu sebagai sentral konflik.
  • Film seri Dunia Tanpa Koma, yang skenarionya juga ditulis oleh Leila. Beberapa bagian di buku ini penggambarannya terlalu "sinetron". Percayalah, suasana saat rapat redaksi maupun mewawancarai narasumber tidak sedramatis itu kok. Dan setiap tokoh Utara Bayu muncul, yang langsung terbayang adalah Tora Sudiro yang berkemeja rapih dan klimis, yang terlalu gimanaaa gitu untuk jadi wartawan. :D

Rating: 5/5

26.5.10

Sekolah Kehidupan Bernama Metro Jakarta Utara

Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara

Saya ingat sekali, sore itu saya baru melangkah keluar dari kos (yang baru saja diisi perabot itu) ketika telepon itu masuk. Sayangnya saya lupa siapa yang menelepon, yang pasti tulisan yang muncul di layar BB saya adalah "kantor".  

Adisti, kamu ditempatin di Metro Jakarta Utara, ya. Kamu pegang berita perkotaan, tapi kamu harus siap cover kriminal juga sekali-kali. Wartawan-wartawannya biasa nongkrong di warung samping polres. Kenalan dulu aja. Nanti kalau sempet mampir ke polsek-polsek, ke kantor walikota, bla bla bla... 

Aduh, aduh. Sekeliling saya seketika gelap rasanya.

Okelah, jadi wartawan memang cita-cita saya sejak dulu. Tapi yang saya bayangkan soal profesi ini adalah: wawancara eksklusif sama menteri siapalah, ikut perjalanan dinas presiden ke manalah, investigasi soal korupsi di lembaga apalah... Bukannya nongkrong di kantor polisi atau lari-lari meliput kerusuhan.

Metro, merupakan satu desk yang dianggap momok, bahkan bagi reporter senior sekalipun. Beda dengan para reporter Desk Ekonomi dan Bisnis yang sering menghadiri undangan liputan di hotel bintang lima, pulang membawa sekantung goodie bag, dan bergaul dengan para dirut; atau para reporter Desk Nasional yang berkeliaran di tempat-tempat kebijakan negeri ini dibuat dan bisa sedikit menyombong, "Kemarin Menteri A telepon saya, klarifikasi soal kasus yang itu.", para reporter Desk Metro harus siaga 24 jam sehari 7 hari seminggu kalau-kalau ada kerusuhan, kebakaran, banjir, bom meledak, atau apalah. Juga harus selalu mobile keliling pos liputannya, kalau-kalau di pelosok sana ada ibu yang membunuh anak kandungnya, atau di ujung sana ada gedung SD yang mau roboh.
 


Dan Jakarta Utara, bukanlah pusat pemerintahan dan bisnis seperti Jakarta Pusat atau Selatan. Jakarta Utara, dalam bayangan saya, adalah daerah pelabuhan dan industri yang "keras". Tempat kejadian kriminal tumpah ruah. Panas, semrawut.

O O O O O H H H . . . W H Y M E , G O D ? ? ?

***

Long story short,
setelah tiga bulan, setelah semua orang bilang, "Dis, lo kurusan dan iteman.", setelah berbagai versi surat pengunduran diri yang akhirnya cuma jadi draft, ternyata saya belajar banyak dari hal yang tadinya amat saya benci. Saya belajar bahwa dunia nyata, ternyata, tidaklah manis dan berwarna-warni bak gulali.

Rasanya semua yang saya pelajari selama kuliah empat tahun lebih, semua idealisme semasa meneriakkan Salam Ganesha bla bla bla itu, semua mimpi masa kanak-kanak, semua tidak ada artinya lagi. Ya, inilah dunia nyata. Selamat datang di dunia nyata. Tidak ada silabus, tidak ada textbook, tidak ada kelas. Tidak ada jadwal ujian karena sepanjang saya bernafas dan membuka mata adalah ujian.

Saya belajar dari pedagang asongan buta huruf yang didakwa sebagai pengedar ganja.
Dari pensiunan petugas pemadam kebakaran yang nyawanya hilang ketika melawan kebakaran besar di pabrik sandal.
Dari bocah lima-enam tahunan yang mengacungkan celurit dan (merasa) mengerti tentang jihad.
Dari guru SMP yang memaksa saya menerima "amplop".
Dari penjaja kerang hijau yang keukeuh berjualan walaupun Teluk Jakarta, tempatnya membudidayakan kerang jelas-jelas sudah dinyatakan tercemar Merkuri.
Dari buruh bongkar muat pelabuhan yang terkatung-katung setelah di-PHK.
Dari kakek yang cucunya meninggal karena ledakan tabung gas tepat di hari ulangtahunnya yang keenam.
Dari tukang becak dan pedagang kaki lima yang kena gusur, maupun Satpol PP yang menggusur.
Dari massa (yang jumlahnya ribuan, yang datang tiba-tiba entah dari mana) yang sedemikian mudahnya terprovokasi dan membakar apa saja yang ada di depan mata.
Dari anak-anak yang makan, tidur, belajar, dan bermain di kolong jalan tol sepanjang hidup mereka.
Dari supir truk kontainer yang tanpa dikurangi pungli pun penghasilannya tidak cukup untuk menghidupi enam anak.
Dari warga yang mengamuk dan merusak ruko yang baru dibangun di pemukiman mereka.
Dari nelayan yang tidak bisa melaut karena tidak mampu beli BBM dan beralih profesi jadi pemulung.
Dari remaja tanggung tidak tamat SD yang membunuh karena cemburu.
Dari satu keluarga yang rumahnya ludes dihanguskan api dan hanya punya baju yang melekat di badan.
Dari pedagang es potong yang tusuk-tusukan pakai pisau pemotong es karena persaingan harga yang cuma selisih 100 rupiah, di depan SD tepat pada jam istirahat.
Dari oknum polisi yang mencak-mencak ketika saya todong soal keterlibatan polisi dalam perampokan warung mie dan apotik.
Dari ABK yang (entah bagaimana) mendorong rekannya ke laut saat mabuk dan baru sadar berhari-hari kemudian.
Dari massa yang sempat-sempatnya menjarah di tengah ribuan orang yang sedang bertikai, celurit, lemparan batu, dan gas air mata.
Dari tuna rungu yang ikut demo.

Juga dari para begundal utara (sebutan untuk para wartawan Metro Jakarta Utara-red), mulai dari yang paling idealis sampai yang paling getol mengumpulkan "amplop".

Dan, di usia yang sudah menginjak 23 ini, saya belajar sesuatu soal cinta. Cinta tidak buta. Cinta hanya menutup mata. Tapi kalau mau kita bisa kok, memilih untuk membukanya. :)

 
Mungkin saya memang harus berterima kasih pada Metro dan Jakarta Utara. Untuk tiga bulan yang membuat saya jadi tiga kali lipat lebih kuat. Well, what doesn't kill you makes you stronger. Yah, setelah puluhan kali menyambangi kerusuhan dan kebakaran, liputan sambil lari-lari menghindari lemparan batu dan gas air mata, disuruh standby di lokasi kebakaran semalam suntuk, menunggui kamar jenazah, melihat darah dan potongan tubuh, melihat bandeng (bahasa sandi polisi untuk mayat-red) dalam kondisi mengenaskan, nongkrong bareng para intel dan kriminal, apa lagi sih yang lebih buruk yang bisa terjadi?

God, now I know why. Because You want me to be stronger.

Setidaknya ada satu hal yang bisa bikin saya senyum: sekarang saya sudah bisa bilang, "The hardest part is over." :) :) :)

6.5.10

cinta.



ajari aku soal cinta, kataku.
aku tidak bisa mengajarimu, tapi aku bisa menunjukkannya padamu, katamu.



 cinta itu menggeliat-geliat memberontak di bawah alam sadar.
ketika kecup lembutmu di bibir ini perlahan berubah wujud jadi kecupan penuh gelora.

cinta itu melayang-layang di udara.
ketika wangi maskulin alami tubuhmu bercampur wangi Marlboro merah mulai merasuki sukma ini.

cinta itu menghentak-hentak nyawaku.

ketika kau hempaskan tubuh ini hingga darah mengalir deras sampai ujung jemari kaki.

cinta itu menabrak-nabrak batas-batas nalar dan logika.
ketika kita berbagi peluh dan lenguh dalam satu irama.



dan semua jadi fana.






kamu adalah lelakiku. kamu adalah candu.

3.5.10

Mata Itu

Di suatu hari…
Dia : Dis, lihat mataku dong.
Aku : Hmm?
Dia : Kamu kenapa sih, kalau ngomong nggak pernah mau lihat mataku?
Aku : …


Suatu hari yang lain…
Dia : Dis, coba lihat. Inilah orang yang kamu sayang. Dari awal kan aku sudah bilang, memang keadaanku seperti ini.
Aku : Hah? Apa? Orang yang aku apa?
Dia : Yang kamu sayang.
Aku : Huahahahaha… Kok kamu bisa bilang begitu?
Dia : Dari mata kamu.
Aku : …



***

Aku jadi ingat. Ada seekor kucing liar, kurus, dekil yang suka datang ke rumah. Bulunya coklat menggemaskan. Kadang dia hanya diam di pintu, menatap penuh waspada pada kami, penghuni rumah yang lalu lalang. Kadang –mungkin kalau perutnya sudah kelewat lapar– dia mengendap-endap ke dapur, lalu hap! Science Diet kucing kesayangan saya di mangkuk merah jambu, atau bahkan sepotong ayam, tempe, atau apapun yang ada di meja, akan disambarnya. Belakangan dia mulai kelewatan. Stok Science Diet yang tersimpan rapih di dalam toples di atas meja, entah bagaimana berhasil dibukanya, dan hanya disisakan seperempat.
Mama selalu jadi orang yang paling sebal akan keberadaan si kucing coklat. Sementara aku, seperti yang sudah-sudah, tidak pernah tega. Beberapa kali aku sengaja menyodorkan mangkuk merah jambu, supaya dia bisa merasakan makanan kucing impor itu. Sambil ubun-ubunnya aku elus-elus. Padahal aku tahu, kucing coklat nanti jadinya tuman –ketagihan.

“Makanya, jangan dilihat matanya. Nanti jadi nggak tega.” Mama.

Ah, benar juga. Setiap melihat mata kucing coklat, aku jadi luluh. Rasanya ingin membawanya pulang, membersihkan bulunya yang kotor, memeluknya, dan memberinya semangkuk susu hangat. Aku tidak peduli dia kucing liar, dekil, penyakitan. Semuanya jadi tidak penting lagi.

***

Mungkin, ya, mungkin, aku memang harus menghindari sepasang mata itu. Supaya aku tidak hanyut dan tenggelam di dalamnya, lagi dan lagi.


Tenang, Sayang. Aku masih di sini, kok. Masih di sampingmu di malam-malam sepimu, mendengar kelam masa lalumu sambil menertawakan diri sendiri, memeluk tubuh kurusmu dari belakang erat-erat saat kamu di balik kemudi motor, memastikan kamu tidak memasukkan terlalu banyak nikotin dan alkohol ke tubuh itu, dan membiarkan diriku lebur dalam nyaman dekapmu.

Kalau itu bisa sedikit menghapus sepimu dan mengobati lukamu...

18.2.10

...

Setahun lalu kamu bilang,


...dan aku ingin kamu juga fokus pada apa yang
kamu mau. Karena aku tahu, kalau kamu mau, kamu pasti bisa
mendapatkannya.


Hey, kamu sadar tidak sih, aku melakukan ini semua demi kamu?

19.1.10

A Million Girls Would Kill to Have This Job!

If you’ve ever watched the movie The Devil Wears Prada (or read the book), maybe you‘ve ever heard of that line. “This job” here refers to job in a fashion magazine.

Just think you ought to know: I love magazines. I just… I always have! And ever since one of my classmates brought the very first issue of Cosmo Girl Indonesia in my first year of high school (I was 14 then), I immediately want to work in a magazine. An international fashion magazine, to make it more specific. Well, I love fashion (Oh yes, I do! I think every woman do!), and even though I’m not that much into fashion, but wouldn’t it be super awesome? *drooling*

Zillion thanks to God, I’m so lucky to finally got that chance (yeaaayy! :D). There have been a lot of people ask me, how it feels like to work in a high-end fashion magazine. Well, after a week working there, here’s what I can tell you…

1. I think the movie The Devil Wears Prada (and Ugly Betty too) are a wee bit exaggerating. No, there’s no such thing as bitchy office mate who stare at you from head to toe, try to bring you down just because your lack of style, talk shit behind your back, or stab each other’s back (well, at least not in front of me! :D). The girls are quite friendly and they helped me a lot. They invited me to lunch, let me use their computer and cell phone, and shared their snacks. (Yea, I have to admit that after my (canceled) second interview few weeks ago, I cried in the bathroom while making a phone call to my Yandi. But let me just say that that was just a wrong impression I got, and me being a crybaby. :D)
 

2. But it is true that everyone is sooo stylish and glamorous! Even the one whose job seems to have nothing to do with fashion, like the Business Director or Secretary. There’s no formal and boring office look here, everyone’s free to wear whatever they feel like wearing. You name it: ripped jeans, legging (they comes in every color and pattern), mini dress, Doc Marten boots in shocking pink color, smokey eyes…
 

3. Oh, and there’s no strict working hour, too. They usually come to the office at 9, and then go mall-hopping.
 

4. The girls don’t try so hard to be super skinny like in the movies. They eat ‘nasi padang’ and ‘gorengan’, and eat snacks during work. Just like the rest of us… :D
 

5. But the guys are not too friendly. They didn’t even bother to ask my name before they get me to do some job for them. Don’t know why. When I told this to my friend Icha, she asked, “Are you sure they’re straight?” LOL!
 

6. And my Editor-in-Chief? She’s nothing like the wicked dragon lady in The Devil Wears Prada (or the legendary Editor-in-Chief of Vogue US, Anna Wintour, who widely believed as the inspiration for that character). If I were a boy, I would have fallen in love with her, no kidding. She’s still very young, and nice and humble and sincere. And very very stylish too, of course. And what amaze me the most: the moment she heard Adzan maghrib, she left her desk and prayed. I think I should make a new movie, titled The Angel Wears Prada. :D
 

7. No, we don’t get branded stuff for free. I’m telling you: we BORROW them instead. In our office, we’ve got three huge wardrobes loaded with oh-so-fabulous bags, shoes, clothes, and jewelries from fancy brands that I had to try sooo hard to hold the urge to steal them. He-he. There was even a handbag at the same price of a car that I didn’t dare to touch.
 

8. Unlike in other places, noone praised me because I graduated from ‘the-so-called-best-university-in-this-country’. Most of them graduated from private fashion or art schools, or from abroad. They were like, “What? So you’re an engineer? What the hell are you doing here?” So I had to keep my chin down for this time, and I had to work twice harder only to prove that I can really write.

And what did I actually do? Sadly, since I’m the “new kid on the block”, they didn’t let me report something or interview someone, so I had to sit in front of my computer from 9 to 6, and…
- Edited a contributor’s writing about a trip to Komodo Island. Later on, I found out that she’s a well-known traveler and ever worked for a TV program. Wow, it did me an honor to edit her writing.
- Wrote about traveling to London. I made some kind of calendar event for the year 2010 and hotel recommendation. Before writing this, I was warned that our readers comes from A+ class, so they will be attracted by luxurious boutiques, luxurious spas, yada yada yada…, and I had to make sure that the hotels I recommend for them are 5-star ones.
- Translated an interview with Katia Verber (Russian’s socialite, like Paris Hilton)
- Translated two articles from our US edition about career and health tips, and googled some additional infos.
- Googled some images.
And when I’m done with my tasks, they just let me sit on a cozy couch in the corner and read some magazines. We have plenty of international fashion magazines here, from Vogue Australia to Marie Claire Hongkong. And it felt like heaven to a magazines fetish like me! Imagine you’re a chocolate addict and you’re working in a chocolate factory. :D

 

A pretty fine first week, it is. But sadly it’s my last week also. No, it’s not that I give up. In fact, I can’t be more grateful than this. I've made a dream and I've made it come true, and I’ve proved to those who didn’t believe that hey, dreams DO come true! I merely got a better offer, better opportunity, and better challenge in another place. I mean, mall-hopping every single day and brag about Gwen Stefani's lipstick when everyone else in this country is in an uproar over Pansus Bank Century or Artalyta Suryani's unbelievably luxurious cell may be a fun thing to do in few weeks, but there's no way I'm going to do that thing for the rest of my life! Yea, so... I’m moving from fashion to politics.

Maybe a million girls would kill to have this job. The thing is, I’m not one of them… :)

2.1.10

Nobody Likes You When You're Twenty Three!

Nobody likes you when you’re 23
And you still act like you’re in freshmen year
What the hell is wrong with me?
My friends say I should act my age
What’s my age again? What’s my age again?
-What’s My Age Again (Blink 182)-

That was one of the songs I used to listen back then in my high school age. When all the things that matter were “that basketball captain and guitarist boy is drop dead gorgeous” or “that girl’s got a fancy bag I should immediately buy a new bag too”, scheming to skip class with the whole classmates, feeling like the coolest kid in town if I could take daddy’s car to school, whining all day because of mommy wouldn’t allow me to go out at night, and wondering where I’m gonna be when I turn 23.

Well, I’m now 23 already. You know what, I’ve been spending a lot of time lately in front of my netbook, googling the keyword “quarter life crisis” and scrolling through the symptoms:
Are you in a "funk" where you feel like nothing is terribly wrong, but nothing seems right either? Check.
Do you ever feel that time is running out in regards to figuring out your career and deciding whether you want to get married and/or have children? Check.
Do you feel that you have failed because you don't know what you want to do with your life, or do you know what you want to do but can't seem to make it work? Check.
Do you frequently compare yourself to other people your age and feel like you don't measure up? Check.
Are you thinking about going back to grad school because you don't know what else to do with your life? Check.
Is your life just not at all turning out like you planned? Check.

A-ha! I’m officially in quarter life crisis. Quite funny that it doesn’t freak me out (too much), it’s just a phase in this so-called-life and it’s completely normal and I’m going to get through it, I daresay.

Well, 2009 has been the toughest year ever to me. But I’ve learned a lot this year. I’ve learned that “
indah pada waktunya” is such a magic spell (but still, waiting is sucks big time, especially when we have no idea when the time will come while we’re repeatedly told to be patient and keep the faith). I’ve learned that we can’t have everything in life. We just can’t. Life is all about choices and we have to choose, and sometimes we have to sacrifice something for an even greater good. I’ve learned that life is, indeed, beautiful, so don’t be a drama queen (or king) and sweat small stuff. I’ve learned that our future lies in our own hand, not in anyone else’s, so have the guts to take a stand, make a move! It’s between who we are and who we could be, it’s between how it is and how it should be.

And I’m pretty much sure that the best is yet to come.

Happy birthday to me! :)

PS: For those of you who would want to give me presents, books will do, and I’ll make things easier by putting my wish list here (hehehee…):

  • Anything by Pramoedya Ananta Toer except Larasati and Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. I already have them.
  • Hujan Bulan Juni by Sapardi Djoko Damono
  • Mrs. Dalloway by Virginia Woolf (the original one)
  • 9 dari Nadira by Leila S. Chudori
  • The Devil Wears Prada by Lauren Weisberger (the original one)

 
design by suckmylolly.com