21.6.10

Minggu Pagi di Victoria Park yang Serba Realistis


Judul: Minggu Pagi di Victoria Park
Sutradara: Lola Amaria
Pemain: Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Damara, Donny Alamsyah
Produksi: Pic[K]Lock Productions

 
Saya sedang jenuh pada film-film berlatar dunia antah berantah yang mengumbar efek spesial yang memanjakan mata, berbiaya fantastis, tapi ketika keluar dari bioskop tidak meninggalkan kesan mendalam. Saya rindu film berlatar biasa saja tentang orang biasa saja. Film Indonesia, terutama.

Ah, tapi seandainya tidak begitu pun, nama Titi Sjuman yang didapuk jadi salah satu pemain utama sudah jadi alasan cukup kuat untuk menyeret saya menonton Minggu Pagi di Victoria Park. Sejak Mereka Bilang, Saya Monyet!, boleh dibilang saya jadi fans beratnya. ;)

Ketika tahu ini film soal TKW, yang terpikir oleh saya adalah: aduh, kasihan Titi Sjuman. Nanti pasti dia harus berakting dipukuli majikan, disetrika, disiram air panas... Tapi majikan (setidaknya yang ditampilkan dalam film ini) ternyata baik-baik tuh.

Oh, ternyata... itu sih TKW Arab. Sedangkan TKW Hong Kong masalahnya "hanya" seputar terjerat hutang sampai-sampai dicekal tidak bisa pulang ke negeri asal, luntang-lantung di negeri orang, dijadikan sapi perahan keluarga di kampung halaman, dan gegar budaya.

Saya memang bukan kritikus film profesional, tapi sebagai seorang penikmat film amatir, saya menilai film ini "pas". Ibarat makanan, ia tidak pedas, tidak kemanisan atau keasinan, tapi juga tidak hambar. Realistis lah. Tidak ada yang dramatis bak sinetron, bahkan ketika salah satu tokohnya baru saja bunuh diri. Tidak terlalu banyak polesan dari segi sinematografi ala film-film surealisme.

Mata saya terhibur melihat pemandangan pasar tradisional, deretan pertokoan, dan pelabuhan Hong Kong. Tapi pemandangan utama film ini tetap para TKW dengan anting besar berwarna mencolok dan rok mini, mengobrol dengan logat medok di Victoria Park. Kadang diselipi Bahasa Inggris yang tidak tepat. Sebuah Indonesia mini versi mereka.

Lola Amaria sudah tidak diragukan lagi sebagai sutradara. Tapi, maaf-maaf saja, saya terganggu sekali dengan aktingnya sebagai Mayang. Saya terganggu melihat tampangnya yang merengut terus dari awal sampai akhir film, saya terganggu mendengar logat Jawanya yang tidak pas. Duh! Mending merem dan menutup telinga saja deh kalau dia muncul!

Satu lagi, walaupun akting Donny Alamsyah sebagai Vincent sangat bagus, tapi rasanya kalau tokoh itu dihilangkan tidak akan memengaruhi cerita. Vincent yang rela jatuh bangun membantu Mayang -lalu jatuh cinta pada Mayang- tanpa alasan yang jelas malah jadi mengobrak-abrik logika cerita. Bilang saya sinis, tapi dari dulu saya memang tidak suka kisah tentang "upik abu buruk rupa yang mendapatkan pangeran tampan berkuda putih". Klise.

Sedangkan akting Titi Sjuman sebagai Sekar, baik waktu jadi gadis desa lugu yang baru berangkat jadi TKW, maupun waktu terpaksa merelakan keperawanannya di Hong Kong, pas sekali. Sayang, tokoh ini kurang dieksplor untuk menciptakan keterikatan emosional dengan penonton. Dari awal penonton sudah diberi tahu, si Sekar ini terjerat hutang, tapi yaa... terus kenapa?

Sesungguhnya, adegan klimaks film ini adalah epilog yang menampilkan potongan-potongan adegan pelatihan TKW, disertai narasi tertulis. Pesannya kena.

Maju terus film Indonesia! Hmmm, habis ini, Tanah Air Beta kayaknya bagus nih...

2 comments:

Unknown said...

wow Dis, pengamat film nih skarang... jadi film ini direkomen ga?

pengen jadi pengamat film juga... :)

Adisti Dini Indreswari said...

nggak juga bom, lebih pingin jadi kritikus buku sebenernya.. ;)

 
design by suckmylolly.com