5.6.10

Menyelami Kehidupan Wartawan Lewat 9 dari Nadira


Judul: 9 dari Nadira
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (cetakan pertama Oktober 2009)


Inikah hari terbaik bertemu dengan-Mu.”
“Kami menemukan sosok yang telentang bukan karena sakit atau terjatuh, tetapi karena dia memutuskan: hari ini, aku bisa mati.”

Leila S. Chudori sudah membuka halaman pertama bukunya dengan sesuatu yang biasanya menjadi klimaks: kematian. Tokoh Ibu memilih mati bunuh diri. Tema yang masih jarang diangkat penulis Indonesia, sementara penulis kawakan Jepang, Haruki Murakami sudah lama memakainya di Norwegian Wood.

Lantas kita digiring memasuki konflik psikologis tokoh-tokohnya yang amat rumit. Nadira Suwandi bungsu dari tiga bersaudara. Ia wartawan majalah berita Tera. Ayahnya, Bram Suwandi, mantan wartawan senior yang bergulat dengan post-power syndrome, berasal dari keluarga sederhana fanatik Islam. Ibunya, Kemala Suwandi yang liberal, berasal dari keluarga pengusaha yang sekuler dan dekat dengan penguasa. Setiap kali keluarga besar Suwandi salat berjamaah, Kemala cukup ambil bagian dengan duduk di shaf terbelakang menggenggam seuntai tasbih (tasbih ini kelak jadi bagian penting dalam hidup Nadira). Si anak sulung, Nina Suwandi , amat perfeksionis dan “terancam” dengan keberadaan Nadira yang sejak kecil sudah menulis cerpen dan digadang-gadang sebagai penerus ayahnya. Nina dan Nadira tak pernah akur. Si anak tengah, Arya Suwandi, hmm... ibarat semangkuk es campur, Arya pastilah air mineral yang menetralkan semua. Ia kelewat “normal” di tengah-tengah keluarga Suwandi. Arya bandel, tapi juga yang paling religius di antara dua saudaranya.

Sayang, pembangunan plot dan penokohan yang sudah kuat di awal jadi mengendor di tengah. Buku ini jadi tak ubahnya kisah cinta biasa. Ah, bukankah kita sudah bosan dengan tema sejenis? Meskipun Leila tetap menghadirkannya dengan apik.

Kisah cinta itu hadir lewat sejumlah tokoh: Utara Bayu, Kepala Biro yang dingin dan punya hubungan tarik-ulur dengan Nadira; Kris, Desainer yang diam-diam menaruh perhatian pada Nadira; Niko Yuliar, mantan aktivis yang sempat menikah dengan Nadira sebelum akhirnya bercerai; Gilang Sukma, suami Nina yang mencoba menggoda Nadira; Marc Gillard, seseorang dari masa lalu; hingga sosok Panji (atau Kirana?) yang membawa Nadira pada dunia seksualitas yang tak pernah disentuhnya.


“Bisakah kita beberapa saat terlupa. Siapa engkau, siapa aku. Siapa malam, siapa siang. Siapa perempuan, siapa lelaki. Bisakah kita membebaskan diri. Dari semua nama-nama yang membatasi tubuh ini. Bisakah kita bergerak mengikuti hasrat?”

Leila S. Chudori kini menjabat Redaktur Senior di Tempo. Resensi filmnya yang terkenal tajam merupakan rubrik kedua yang saya baca setiap majalah Tempo terbit (setelah Laporan Utama, tentunya). Mungkin karena sekarang saya juga bekerja di Tempo, nuansa ketempoan sangat kental terasa di sini. Beberapa bagian rasanya begitu familiar: hiruk pikuk para Reporter, Redaktur, dan Desainer di kantor, Pemimpin Redaksi yang penyair, makan malam istimewa setiap tanggal 28 (karena tanggal 28 adalah sehari setelah tanggal 27, hehehe…), sampai rooftop tempat berkumpulnya para staf redaksi.

Banyak yang meyakini, Nadira sesungguhnya merupakan representasi Leila sendiri. Terlalu banyak kemiripannya untuk disebut kebetulan: sama-sama wartawan majalah berita, kuliah di Kanada, putri wartawan senior, bungsu dari tiga bersaudara, sudah menulis cerpen sejak kecil, dan punya anak tunggal. Mengenai Tera merupakan representasi Tempo, ini diakui Leila dalam ucapan terima kasihnya.

Yang jelas, sama seperti Jika Kami Bersama-nya Superman is Dead yang saya putar berulang kali dan saya jadikan ringtone, buku ini salah satu muse saya. Ketika harus melewati masa-masa sulit itu, memanggul ransel keluar masuk kantor polisi, saya membayangkan Leila juga harus seperti itu di awal karier jurnalistiknya (dalam kisah ini, Nadira memegang rubrik Hukum dan Kriminal). Kalau Leila bisa, kenapa saya tidak? :)

Dengan kepiawaiannya merangkai kata, Leila menjadikan buku ini sama sekali tidak membosankan. Tidak semua kisah di buku ini menggunakan sudut pandang Nadira, tapi juga Bram, Kemala, Nina, dan Kris (lengkap dengan coretan sketsanya). Juga, Leila menunjukkan kekayaannya akan referensi budaya: mulai dari filsuf Perancis Simone de Beauvoir sampai sastrawan Virginia Woolf yang tewas mengenaskan, mulai dari legenda Panji Semirang sampai Freddy Mercury-nya Queen disebut-sebut dalam buku ini. Bahkan di ucapan terima kasihnya, Leila juga menyebut band indie masa kini, Everybody Loves Irene dan The Trees and the Wild menemaninya selama masa penulisan!

Similar to: 
  • Norwegian Wood (Haruki Murakami), The Virgin's Suicide (Jeffrey Eugenides), The Catcher in the Rye (J. D. Sallinger). Satu kata yang mewakili semua buku itu: gloomy. Sepertinya Leila memang menjadikan J. D. Sallinger salah satu inspirasinya, terbukti dengan seringnya nama penulis itu disebut. 
  • Karya-karya Djenar Maesa Ayu yang feminin dan sering menampilkan tokoh ibu sebagai sentral konflik.
  • Film seri Dunia Tanpa Koma, yang skenarionya juga ditulis oleh Leila. Beberapa bagian di buku ini penggambarannya terlalu "sinetron". Percayalah, suasana saat rapat redaksi maupun mewawancarai narasumber tidak sedramatis itu kok. Dan setiap tokoh Utara Bayu muncul, yang langsung terbayang adalah Tora Sudiro yang berkemeja rapih dan klimis, yang terlalu gimanaaa gitu untuk jadi wartawan. :D

Rating: 5/5

2 comments:

Anonymous said...

seperti yg gw pernah blg ke lo di tangga..
"Kekayaan objek dipengaruhi oleh kekayaan subjek"
Kalau Leila meresensi film seperti menceritakan kisah masa kecilnya, lo membedah buku seolah menceritakan keluarga inti lo.
sangat personal dan sangat mengenal!!

teruslah menulis..
cheers

Adisti Dini Indreswari said...

@anonymous (yang ternyata arie, padahal gw udah GR kirain punya secret admirer ;p): terimakasiiih

(sambil mengingat2 tangga mana yang pernah gw tongkrongin sama lu)

 
design by suckmylolly.com