Di suatu hari…
Dia : Dis, lihat mataku dong.
Aku : Hmm?
Dia : Kamu kenapa sih, kalau ngomong nggak pernah mau lihat mataku?
Aku : …
Suatu hari yang lain…
Dia : Dis, coba lihat. Inilah orang yang kamu sayang. Dari awal kan aku sudah bilang, memang keadaanku seperti ini.
Aku : Hah? Apa? Orang yang aku apa?
Dia : Yang kamu sayang.
Aku : Huahahahaha… Kok kamu bisa bilang begitu?
Dia : Dari mata kamu.
Aku : …
***
Aku jadi ingat. Ada seekor kucing liar, kurus, dekil yang suka datang ke rumah. Bulunya coklat menggemaskan. Kadang dia hanya diam di pintu, menatap penuh waspada pada kami, penghuni rumah yang lalu lalang. Kadang –mungkin kalau perutnya sudah kelewat lapar– dia mengendap-endap ke dapur, lalu hap! Science Diet kucing kesayangan saya di mangkuk merah jambu, atau bahkan sepotong ayam, tempe, atau apapun yang ada di meja, akan disambarnya. Belakangan dia mulai kelewatan. Stok Science Diet yang tersimpan rapih di dalam toples di atas meja, entah bagaimana berhasil dibukanya, dan hanya disisakan seperempat.
Mama selalu jadi orang yang paling sebal akan keberadaan si kucing coklat. Sementara aku, seperti yang sudah-sudah, tidak pernah tega. Beberapa kali aku sengaja menyodorkan mangkuk merah jambu, supaya dia bisa merasakan makanan kucing impor itu. Sambil ubun-ubunnya aku elus-elus. Padahal aku tahu, kucing coklat nanti jadinya tuman –ketagihan.
“Makanya, jangan dilihat matanya. Nanti jadi nggak tega.” Mama.
Ah, benar juga. Setiap melihat mata kucing coklat, aku jadi luluh. Rasanya ingin membawanya pulang, membersihkan bulunya yang kotor, memeluknya, dan memberinya semangkuk susu hangat. Aku tidak peduli dia kucing liar, dekil, penyakitan. Semuanya jadi tidak penting lagi.
“Makanya, jangan dilihat matanya. Nanti jadi nggak tega.” Mama.
Ah, benar juga. Setiap melihat mata kucing coklat, aku jadi luluh. Rasanya ingin membawanya pulang, membersihkan bulunya yang kotor, memeluknya, dan memberinya semangkuk susu hangat. Aku tidak peduli dia kucing liar, dekil, penyakitan. Semuanya jadi tidak penting lagi.
***
Mungkin, ya, mungkin, aku memang harus menghindari sepasang mata itu. Supaya aku tidak hanyut dan tenggelam di dalamnya, lagi dan lagi.
Tenang, Sayang. Aku masih di sini, kok. Masih di sampingmu di malam-malam sepimu, mendengar kelam masa lalumu sambil menertawakan diri sendiri, memeluk tubuh kurusmu dari belakang erat-erat saat kamu di balik kemudi motor, memastikan kamu tidak memasukkan terlalu banyak nikotin dan alkohol ke tubuh itu, dan membiarkan diriku lebur dalam nyaman dekapmu.
Kalau itu bisa sedikit menghapus sepimu dan mengobati lukamu...
4 comments:
Hiks.... terharu.. :cry:
Bener ya kata orang, mata adalah jendela hati. Apa yang dirasakan di hati seseroang terpancarkan di matanya. :D
iya, jadi malu sendiri.. ^^ (lho?)
luar Biasa.....tapi jangan pernah berkata akulah kucing itu....
bukan kok, hehehe
(woow, baru kali ini dapet komen dari blog akademis)
Post a Comment