Waaaaw sudah lama nggak menjamah blog... Hari ini, gladi resik wisuda di Sabuga. Padahal rasanya baru kemarin saya ada di gedung yang sama untuk Sidang PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru-red). Kalau buat kebanyakan orang masa paling indah adalah masa SMA, buat saya masa kuliahlah yang paling indah. Mungkin karena sepuluh hal ini yang membuat 4,5 tahun saya di ITB jadi nggak terlupakan. Disusun berdasarkan urutan kejadiannya, here they are...
1. MPAM (Masa Pembinaan Anggota Muda-red) HMTL
Berlembar-lembar kertas pun rasanya nggak akan cukup buat menulis semua kenangan selama MPAM. Pakai kostum yang ‘nggak banget’: celana training TPB (Tahap Persiapan Bersama-red), kaos angkatan dengan tulisan “No Selfish Generation” (yang sering dipelesetkan, “Kalian nggak jualan ikan ya?” atau “No selfish, but sell vegetables” ), name tag dengan nama teknik lingkungan (nama saya dulu “v-notch”, yaitu alat untuk mengukur debit air), jaket tebal, rambut dikepang dua pakai karet gelang warna hijau, sepatu olahraga, dan tas carrier yang beratnya sampai 13 kg gara-gara batu bata juga dimasukkan. Digojlok dari subuh-subuh sampai jam 1 pagi. Push up pakai ponco di bawah derasnya hujan. Dikerjai habis-habisan saat malam swasta. Bikin simulasi pengolahan air. Bikin berbagai formasi dari formasi standar, formasi jalan, formasi satu, sampai formasi NIM dengan berbagai variasinya. Meneriakkan yel-yel angkatan, dari versi Bahasa Inggris sampai Bahasa Sunda. Foto di pinggir Sungai Cikapundung. Trekking dan nanam pohon di Punclut. Bikin performance angkatan. Bikin resume pakai mesin tik. Kumpul di basecamp, bikin tugas yang banyaknya minta ampun itu sambil nyanyi-nyanyi + main gitar. Setelah enam bulan, akhirnya kami dapat jaket hijau HMTL. Wah... bangganya!
Selain berat turun 7 kg dan kulit menghitam, banyak hal yang saya dapat selama MPAM. Yang lebih penting lagi, angkatan saya jadi solid. Makanya saya justru kasihan sama angkatan yang nggak mengalami osjur. They miss sooo many things!
2. Jadi Anggota Boulevard
Journalism is one of my biggest passions. Di ITB saya daftar dua unit: LFM (photography and cinematography are things I’m passionate about, too) dan Boulevard. Tapi akhirnya saya memilih satu saja: Boulevard.
Di sini saya belajar banyak hal: berkomunikasi (baca: memancing dan merayu narasumber supaya diberi info), spirit untuk nggak gampang menyerah mencari info ke mana-mana, mencari hal yang menarik dari topik yang sebenarnya biasa saja (paling sebal kalau dapat info menarik tapi narasumbernya bilang, “Ini off the record ya!”, A A A R R G H !), dan tentu saja menulis. Yang paling saya suka dari menjadi jurnalis kampus adalah bisa kenal sama orang-orang penting di kampus, dari ketua himpunan sampai rektor. Saya juga merasakan sensasi luar biasa ketika melihat tulisan saya di-publish dengan nama lengkap saya dicantumkan, lalu disapa orang, “Dis, gue baca tulisan lu di Boulevard yang baru.” Atau ketika berkenalan dengan orang baru, “Kayaknya pernah denger nama lu. Ooh, pernah nulis di Boulevard ya?”
Boulevardlah yang pertama mengenalkan saya pada dunia jurnalistik, dan membuat saya sadar saya benar-benar menyukai dunia ini, I belong here, dan saya akan terus di sini.
3. Kimia oh Kimia...
Satu hal yang saya sesali selama di ITB adalah TPB saya yang hancur-hancuran. Saya sempat mengulang Kalkulus dan Kimia Dasar selama dua semester. Waktu kuliah Kimia Dasar I, ada tiga kali ujian: UTS I, UTS II, dan UAS. Kalau nilai dari dua UTS sudah cukup, kita boleh nggak ikut UAS. Waktu itu setelah dua UTS, saya baru dapat nilai D.
Bersama sekitar separuh kelas, saya ikut UAS. Soal baru selesai dibagikan ketika pengawasnya bertanya, “Di sini siapa yang masih dapet D atau E?”
Sebagian dari kami mengangkat tangan.
“Wah, gawat. Kalian jangan sampai ngulang Kimia. Kalian saling bantu aja lah ya. Yang ngerasa bisa tolong temen-temennya dibantu. Kalian nggak mau kan liat temen kalian ngulang.”
Wah, rasanya seperti dapat durian runtuh. Sontak kami heboh tanya sana-sini, bahkan tanya ke si pengawas dan mengambil catatan di tas. Saya sudah PD saat mengumpulkan lembar jawaban. Jawaban saya, dari awal sampai akhir, sama persis dengan Hendrik, teman saya yang pintar-rajin-belajar-baik-hati-dan-tidak-sombong, yang sebenarnya sudah dapat nilai B. Nilai B sudah ada di tangan saya!
Ketika hasilnya diumumkan... saya dapat nilai D. Separuh kelas nggak lulus. Ternyata oh ternyata... ‘aksi’ kami saat UAS yang kelewat heboh dan berisik itu ketahuan pengawas kelas sebelah, lalu dia melapor ke dosen, dan UAS kami nggak dianggap. Dengan kata lain nilai yang dipakai adalah nilai dari dua UTS saja.
Ouch. S-H-I-T ! ! !
(Oh ya, kabar yang saya dengar, pengawas kelas kami yang sebenarnya niatnya baik itu kena skors. Kasihan ya...)
Jadilah saya mengulang Kimia Dasar I. UTS I, nilai saya lumayan. UTS II, nilai saya lumayan juga. Saya kira saya sudah nggak usah ikut UAS lagi. Saya malah sudah pergi liburan. Saya baru tahu kalau peraturannya diubah (jadi harusnya saya ikut UAS) beberapa hari setelah UAS berlangsung. Bodohnya, saya sama sekali nggak tahu waktu itu ada UAS! OK, mungkin ini hal terbodoh seumur hidup saya. Dan waktu itu nggak ada UAS susulan.
Padahal nilai saya kritis. Saya stres berat! Terbayang-bayang terus dua huruf itu: DO. Ini kan sudah kesempatan kedua saya, dan batas waktu menyelesaikan TPB memang cuma dua tahun alias dua kesempatan. Teman-teman ikut khawatir. HMTL turun tangan. Dosen wali ikut pusing. Dosen dan petugas-petugas TU Kimia saya teror terus.
Untung kekhawatiran saya ngak jadi kenyataan. Saya tetap dapat nilai D, tapi karena IPK TPB saya sudah cukup jadi saya nggak usah mengulang lagi. Senaaang sekali dapat nilai D!
4. Jadi Panitia Inti OSKM (Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa-red) 2006
Selama di ITB, lima kali berturut-turut saya terlibat di OSKM (atau apapun namanya): tahun 2004 jadi peserta, 2005 jadi taplok, 2006 di divisi Acara, 2007 jadi mentor umum, dan 2008 jadi mentor umum lagi. Tapi yang paling berkesan tentu saja OSKM 2006. Dari awal, pihak rektorat sudah main larang kaderisasi di ITB, dengan bentuk apapun, dengan nama apapun. Alhasil kami harus main kucing-kucingan. Walaupun sudah berusaha melobi dan menunjukkan itikad baik, tetap saja dilarang-larang.
Dua bulan persiapan OSKM jadi dua bulan yang sangat melelahkan buat saya-mentally. Saya sebelumnya bukan siapa-siapa di kemahasiswaan, sekarang langsung jadi panitia inti OSKM bersama orang-orang idealis, dalam kondisi yang serba sulit. Tanpa mengecilkan arti divisi-divisi lain, menurut saya divisi Acaralah yang memegang peran paling besar. Kami yang menurunkan materi dan membuat rundown acara. Semua yang dilakukan panitia lapangan pada hari-H pun berdasarkan arahan yang kami buat. Semuanya sudah kami alami: diancam skorsing, diancam DO, didatangkan intel, sampai dipanggilkan Brimob (seriously!).
Hari-H, cuma sekitar 100 dari 3000 angkatan 2006 yang bernyali untuk datang. Kampus ditutup. Saat closing, semua peserta, panitia, dan massa kampus berbaur membawa bendera merah putih raksasa menerobos paksa masuk kampus. Wow, it was an unforgettable moment. Bangga rasanya jadi bagian dari sejarah. Dengan sedikitnya jumlah peserta, orang luar mungkin menganggap kami gagal. Tapi menurut saya, kami berhasil. Berhasil membuat statement untuk kemahasiswaan.
Oh ya, tim Acara OSKM 2006 adalah salah satu tim tersolid yang pernah saya punya. Selain jadwal rapat, kami juga punya jadwal lari pagi bareng, sarapan bareng, mentoring, sampai-sampai ada dresscode setiap rapat. Sampai sekarang pun masih sering kumpul-kumpul. OSKM 2006 jugalah yang memunculkan idealisme saya dan akhirnya membuat saya memutuskan untuk terus nyemplung di dunia kemahasiswaan.
5. Jadi Editor in Chief ENVIRO Edisi 3 (baca di sini-red)
Ini adalah majalah yang diterbitkan HMTL yang bisa dibilang cukup ‘niat’ karena dicetak di kertas art paper, full color, dan disebarkan gratis se-Bandung. Cukup surprised juga waktu diminta jadi Editor in Chief, karena sebelumnya saya nggak terlalu aktif di himpunan. Tapi karena kebetulan ini bidang yang saya suka, apa salahnya mencoba.
Ini pengalaman pertama saya memimpin sesuatu. I wasn’t a natural born leader indeed, so it wasn’t easy for me for the first time. Rapat perdana, saya bingung harus ngomong apa. 90% kerjaan akhirnya saya tangani sendiri: saya mengedit dan membuat lay out setiap halamannya, menelepon perusahaan satu per satu buat danus, mengetik dan menyetak proposal sampai mengirimkannya ke perusahaan-perusahaan, survey kertas, mengecek ke percetakan, mengangkut-angkut majalah yang sudah selesai dicetak, sampai keliling-keliling toko buku, SMA, dan universitas di Bandung waktu distribusi.
Saya sempat hampir putus asa karena susah dapat sponsor. Untung ada almarhum Profesor Asis Djajadinigrat yang memberikan link ke GM PT. Newmont, bahkan memberi bantuan dana dari Laboratorium Kualitas Udara (waktu itu beliau ketuanya). Jasa-jasamu tak akan kulupakan, pak...
Target saya tercapai: ENVIRO terbit dengan jumlah eksemplar dua kali lipat dari sebelumnya. Tapiii... saya sempat merasa gagal gara-gara banyak salah ketik, missing text, lay out kurang rapih, hasil cetakan foto nggak tajam, dan lain-lain. It was way far from perfect. Untung ada teman-teman di HMTL yang men-support saya. Mereka bilang, hal-hal kecil seperti itu nggak kelihatan dibanding hal besar yang sudah kami lakukan. If I look back then, I think they’re kinda right...
-to be continued biar nggak kepanjangan -
17.4.09
10 Most Memorable Things in ITB (Part I)
Posted by Adisti Dini Indreswari at 8:47 AM 5 comments
Labels: miscellaneous
Subscribe to:
Posts (Atom)