Hari ini hari Selasa. Hari yang paling ditunggu-tunggu seorang gadis sepanjang minggunya. Hari saat ia menghabiskan waktu lebih lama untuk mematut diri di depan cermin sebelum berangkat ke kampus. Hanya karena hari ini hari Selasa.
Gadis ini hanya seorang mahasiswi biasa. Tak ada yang istimewa.
Sekitar pukul 2 siang, dosen PPKN-nya memutuskan untuk menyudahi kuliah. Kuliah Perpetaan masih sejam lagi.
”Ke Comlabs yuk!” ajak seorang teman si gadis.
”Nggak ah, kagok cuma sejam.”
”Ke CC yuk!” ajak temannya yang lain lagi.
”Gue nggak ikut ah, males.”
Sendirian, gadis ini bergegas menuruni tangga GKU Timur, melewati Kantin Borju yang sedang sepi pengunjung dan Labtek V, lalu menerobos gerimis melalui CC sampai ke 9009. Pintu ruangan itu masih tertutup rapat ketika ia tiba. Jelas masih digunakan oleh kelas sebelumnya.
Dengan sabar ia menunggu. Teman-temannya mulai berdatangan. Sesekali ia mengobrol dengan mereka, tapi matanya selalu tertuju ke pintu, seakan-akan tak ingin melewatkan sesuatu. Pukul 3 kurang sedikit, pintu ruangan itu baru dibuka. Satu per satu mahasiswa yang mayoritas adalah laki-laki keluar dari sana. Beberapa memakai jaket hijau tua dengan logo di dada. Beberapa menyandang tabung tempat kertas-kertas gambar di punggung.
Dan... ini dia. Mata gadis ini tertuju pada sosok seorang pemuda. Ialah Senopati. Pemuda yang langsung menarik perhatian gadis ini sejak pertama kali melihatnya. Pemuda yang tak pernah pergi dari pikirannya selama setahun lebih. Mengenakan celana jeans, sweater, dan tas punggung yang sangat-sangat biasa, tapi pemuda ini terlihat begitu menarik. Ada sesuatu yang lain dalam dirinya –entah itu kebaikan hatinya, sikapnya yang simpatik, atau wibawanya– yang membuat gadis ini (dan mungkin masih banyak gadis lain) jatuh hati setengah mati. Pemuda yang istimewa. He’s one in a million.
Sendirian, pemuda itu berjalan dengan cepat, terburu-buru. Ia bahkan tidak melihat ke arah gadis ini sama sekali, cuma melewatinya begitu saja. Tak apalah, pikir gadis ini, toh aku belum menyiapkan kata sapaan, belum merapihkan rambut, dan belum... menenangkan jantung yang berdegup kencang. Gadis ini bahkan tak yakin apakah pemuda itu masih akan mengenalinya atau tidak. Baginya, aku bukan siapa-siapa.
Pemuda itu belok di LFM. Gadis ini menjulurkan kepalanya supaya bisa terus melihat punggung si pemuda sampai menghilang dari sudut pandangnya. Gadis ini tersenyum, lalu melangkah masuk 9009 dengan sukacita. Sudah tak sabar menunggu hari Selasa berikutnya, yang berarti... 7 hari lagi.
Pathetic, huh?
(written in my 3rd semester)