Hey dad look at me
Think back and talk to me
Did I grow up according to plan?
And do you think I'm wasting my time doing things I wanna do?
But it hurts when you disapprove all along
And now I try hard to make it
I just want to make you proud
I'm never gonna be good enough for you
I can't pretend that I'm alright
And you can't change me
'Cause we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry I can't be perfect
Now it's just too late
And we can't go back
I'm sorry I can't be perfect
-Perfect (Simple Plan)-
Berbeda dengan Mama yang extrovert dan spontan, aku dan Papa punya karakter yang sama: cenderung introvert. Mungkin karena itulah selama ini aku tidak terlalu dekat dengan beliau. Aku jauh lebih dekat dengan Mama. She’s my best friend ever. Dengan beliau, aku bisa curhat tentang segala macam: mulai dari kuliah sampai cowok. Kami juga sering menghabiskan waktu bersama. Karena perbedaan karakter itulah, kami justru saling mengisi. Mirip sekali dengan Rory dan Lorelai di Gilmore’s Girls. Lain halnya dengan Papa. Kalau tidak ada Mama, kami jarang mengobrol, bicara seperlunya saja. Jadi, hubungan kami datar-datar saja: tidak terlalu dekat, tapi juga tidak pernah bertengkar.
Think back and talk to me
Did I grow up according to plan?
And do you think I'm wasting my time doing things I wanna do?
But it hurts when you disapprove all along
And now I try hard to make it
I just want to make you proud
I'm never gonna be good enough for you
I can't pretend that I'm alright
And you can't change me
'Cause we lost it all
Nothing lasts forever
I'm sorry I can't be perfect
Now it's just too late
And we can't go back
I'm sorry I can't be perfect
-Perfect (Simple Plan)-
Berbeda dengan Mama yang extrovert dan spontan, aku dan Papa punya karakter yang sama: cenderung introvert. Mungkin karena itulah selama ini aku tidak terlalu dekat dengan beliau. Aku jauh lebih dekat dengan Mama. She’s my best friend ever. Dengan beliau, aku bisa curhat tentang segala macam: mulai dari kuliah sampai cowok. Kami juga sering menghabiskan waktu bersama. Karena perbedaan karakter itulah, kami justru saling mengisi. Mirip sekali dengan Rory dan Lorelai di Gilmore’s Girls. Lain halnya dengan Papa. Kalau tidak ada Mama, kami jarang mengobrol, bicara seperlunya saja. Jadi, hubungan kami datar-datar saja: tidak terlalu dekat, tapi juga tidak pernah bertengkar.
Tapi, saat aku sedang meghadapi ‘masa sulit’ seperti kemarin sampai-sampai sempat terpikir untuk pergi ke psikolog (Aku pakai kata “kemarin” karena ‘masa sulit’ itu sudah berakhir. It’s so over and everything’s back to normal.), setelah ‘kehebohan’ di rumah dini hari kemarin, justru Papa-lah yang membesarkan hatiku. Biasanya, saat sedang berdua di mobil kami cuma diam-diaman. Cuma sesekali mengomentari keanehan yang tampak sepanjang jalan atau omongan penyiar radio. Tapi malam itu, saat menjemputku dari kampus, kami sharing tentang banyak hal. Ini kata-kata beliau yang paling mengena:
Yang namanya masalah itu kaya kubangan lumpur di kaki kita. Sebisa mungkin harus dihindari. Siapa sih yang mau kena masalah? Tapi lain soal kalau kita udah kecebur di kubangan lumpur itu. Kita harus cari cara buat keluar. Kalau didiemin aja, atau cuma sibuk nyalahin diri kenapa bisa kecebur, makin lama kita malah makin dalem kecebur di kubangan lumpur itu, dan bakal makin susah juga keluarnya.
Ternyata tidak usah ke psikolog kalau sedang punya masalah, just come to our parents. They’re the ones who will always love and support us no matter what. Thanks Dad, I really love you…
0 comments:
Post a Comment