Membaca tulisan Carissa yang ini, saya jadi ingat waktu sepatu saya hilang.
Iya, sepatu saya hilang. Dan saya baru sadar waktu seorang teman meminta saya menemaninya ke pernikahan temannya, sekitar sebulan yang lalu.
(Sebenarnya kalimat di atas bisa diperumit menjadi, "Adik (tapi bukan adik kandung) mantan saya meminta saya menemaninya ke pernikahan teman lama yang pernah ditaksirnya." Tapi karena hidup ini sendiri sudah cukup rumit, mari kita sederhanakan saja... ^^)
Acara itu di Jakarta, sementara semua sepatu pesta saya ditinggal di Bandung. H-1, saya baru menelepon Mama, memintanya mengirim sepatu yang dimaksud. Tapi katanya sepatu itu nggak ada di rak yang biasa.
Dan ternyata sepatu itu memang nggak ada di manapun di rumah. Saya tahu setelah seminggu setelahnya, saya pulang ke Bandung dan mengubek-ubek seisi rumah. Jangankan sepatunya, dusnya pun nggak saya temukan. Aneh, padahal saya berani bilang rumah saya itu rapih. Nggak mungkin sepatu itu nyasar sampai ke dapur, misalnya. Sepatu -yang cuma saya pakai kalau ada undangan pernikahan- itu memang sudah lama nggak saya pakai.
Ya sudahlah, mungkin saya harus menerima kenyataan kalau sepatu itu bukan rezeki saya lagi. :(
Tapi, membaca tulisan Carissa, saya jadi sadar kalau saya bukan satu-satunya orang yang super rewel kalau mau beli tas/sepatu. Harus begini harus begitu. Masalahnya, saya ini tipikal one-bag woman dan one-shoes woman. Kalau sudah ketemu tas yang cocok, saya bisa setiap hari pakai tas yang sama sampai belel.
Nah, sepatu yang hilang itu sudah memenuhi semua kriteria yang saya inginkan:
- Strapped. Dengan tali yang nggak terlalu tebal, bahan kulit warna hitam dan nggak mengkilap.
- Ankle strap.
- Bagian depannya peep toe dan meruncing , tapi nggak terlalu runcing juga.
- Hak +- 7 cm, tapi bukan stiletto.
- Bermerk.
Kurang lebih seperti inilah. Sayang, harganya melebihi budget. Tapi nggak apalah, saya rela budget saya untuk belanja yang lain dikurangi demi si "perfect shoes".
Cuma satu kekurangannya: that shoes hurts like hell, and those heels are killing me! Bayangkan saja waktu saya harus berdiri berjam-jam pakai sepatu itu waktu jadi penerima tamu di pernikahan salah satu sahabat saya, Reswa. Sakitnya minta ampun!
Tapi toh saya bertahan dengan sepatu itu. Saya mencopotnya setiap setengah jam sekali. Saya mengoleskan lotion banyak-banyak di pergelangan kaki. Saya menyesuaikan diri.
Sebelum sepatu itu -entah bagaimana- nggak jadi milik saya lagi, dan waktunya saya harus mencari sepatu baru tiba.
... mungkin nggak sih hal yang sama berlaku untuk jodoh?
Yang jelas, sampai sekarang nggak terhitung sudah berapa mall yang saya sambangi, tapi belum ketemu lagi sepatu yang benar-benar cocok... :(
6 comments:
hahaha...iya dis samaa....tepi ngeri juga ya kalo jodoh kita kayak gitu..
kita ngerasa udah nemu yg perfect, ganteng gila, sholeh, supersmart, tajir pula hahaha..tapi kayak si sepatu tadi, sakit pas dipake....gimana tuuh???
mana ada kale org yG SEMPURNA sekali d dunia yg fana ne,..
@mir: ya makanya kan kita yang nyesuaiin diri, hehehe..
wah, sepatu lu ketinggalan dimana kali dis. trus dibawa ama cowo yang nanti mo balikin ke lu. cuman dia terlalu malu buat ke lu. wuidih, macam sepatu kaca. hihihi.
hayo, semangat mencari sepatu baru dgn detail2 yg sesuai!
hahaha! emang gue cinderella?
arfah cariin sepatuuu.. ^^
Post a Comment