9.9.06

Obsesi (Part 2): Sebuah Cerita Tentang Senopati

“Jadi pernahkah kamu memiliki seorang ‘Nimo’? Seseorang yang menjadi obsesi kamu selama bertahun-tahun?
Setelah sampai sejauh ini, aku yakin bahwa kita punya kekuatan untuk memilih, menyimpan obsesi itu atau mencoba membuatnya nyata-walau lewat jalan misterius bernama kebetulan dan keberuntungan sekalipun.”
-Cintapuccino (hal. 249), Icha Rahmanti-

Hmm... adakah obsesi yang menjadi kenyataan?

Sedikit flashback ke 2 tahun yang lalu...

OSKM 2004
Tadinya, aku tipe orang yang nggak percaya sama ‘falling in love at the first sight’. There’s no such thing. Kalaupun ada, paling cuma sebatas tertarik physically.
Sampai aku mengalaminya sendiri.

Waktu itu, ada sekitar 3500 orang peserta dan panitia dari berbagai divisi. Kalau jumlah laki-laki dan perempuan seimbang, berarti ada sekitar 1750 laki-laki. Tapi, entah kenapa, mataku cuma tertuju pada satu orang ini. Mungkin karena jaket almamater membuatnya tampak ‘wah’ (Sedangkan aku, masih pakai putih-abu-abu. Cupu.) Mungkin karena panji yang ada di tangannya. Mungkin karena dia sempat memberiku semangat sekilas. Mungkin karena dia terlihat berwibawa sekaligus ramah.
Yang jelas, aku langsung tertarik padanya since the very first sight. And no, it was not just physically.

Selama setahun aku sering mengambil jalan memutar lewat himpunannya walaupun ada jalan lain yang lebih dekat (dan dalam sehari bisa bolak-balik beberapa kali). Aku mencari account Friendster-nya sampai-sampai semua account yang kira-kira berhubungan dengannya aku buka satu per satu (dan ternyata dia nggak punya account Friendster). Aku mencari tahu semua informasi tentangnya dari teman-teman yang sejurusan atau seunit dengannya. Oh ya, sekali waktu aku pernah semeja dengannya di Perpus Pusat. Aku langsung meraih HP, pura-pura menelepon, padahal diam-diam aku memotretnya. Sampai sekarang foto itu masih kusimpan. We’re all insane when it comes to love, aren’t we?

Masalahnya, he didn’t even realize that I’m alive!

OSKM 2005
Akhirnya, ada kesempatan untuk mengenalnya. Walaupun cuma sekedar mengenalnya. Tapi akhirnya, at least dia tahu namaku (dan nomor HP-ku, he... he... ;p). Padahal aku bukannya sengaja mendaftarkan diri jadi panitia. Padahal aku bukannya sengaja masuk divisi Taplok. Sebut saja ini kebetulan.

Oh ya, kalau kita melihat seseorang dan langsung menyukainya, biasanya setelah kita mengenalnya pasti akan ilfeel karena ternyata dia nggak seperti yang kita bayangkan. Tapi ini lain. Semakin aku mengenalnya, justru semakin aku menyukainya. Setelah melihat bahwa he’s not all that I think he is pun, yah... it’s OK, he’s just human.

“... bilang aku gila, tapi... knowing that he’s not perfect after all malah bikin aku mikir kalau he’s even more perfect than before!
I realize that seeing someone like this doesn’t come by itself. It comes with love... (I think I start to fall for him...) And yes, I am so cliche.”

-Dari buku yang sama, hal. 255-

But I wasn't only fall for him, I was obsessed with him! I’ve let him know about this feeling, and I feel no regret after all...

Well
, sepertinya previous posts di blog ini sudah bisa menggambarkan bagaimana aku terobsesi pada seorang Senopati. Yang paling akut sih, waktu aku mau dioperasi bulan Februari lalu, beberapa saat setelah obat bius yang disuntikkan melalui infus di tanganku mulai bekerja, beberapa saat sebelum aku mulai kehilangan kesadaran, yang terbayang adalah sosoknya. Memangnya aku siapa, dia siapa? Tolong... aku terobsesi!!!

Beberapa hari yang lalu
Suci memberiku kabar (lalu kabar ini dibenarkan oleh Uti) yang kalau aku dengar setahun yang lalu, mungkin aku akan menangis 7 hari 7 malam, mengurung diri di kamar ditemani buku dan musik yang gloomy (as usual...), or even hurt myself physically (I’m a sort of person who have a tendency to do that kind of thing), tapi sepertinya aku baik-baik saja! Well, a bit surprised, I confess, but I’m doing just fine, seriously!

It means: I (finally) got over him! Fiuh... lega rasanya. Seperti terbebas dari beban yang selama ini memberatiku. Seperti waktu Osjur, bawa tas carrier yang beratnya minta ampun (sekitar 13 kg) seharian, lalu ada kesempatan untuk melepas tas itu dari pundak. Lega kan? (He... he... pembandingnya nggak banget ya?)

Jadi, adakah obsesi yang menjadi kenyataan?
Sepertinya itu cuma terjadi di chick-lit. Atau film-film Hollywood. Atau komik-komik Jepang. Yang jelas tidak di kehidupan nyata.
Wake up... wake up... daydreamer! Get into real life!

Btw, sah-sah saja kan mengambil kutipan dari chick-lit? ;p

0 comments:

 
design by suckmylolly.com