16.4.08

Percakapan, Setelah Sekian Lama

Aku melihat sosokmu yang baru datang, langsung duduk di bangku. Kamu sendirian, acuh menyantap makan siang dari piring yang kamu bawa. Aku terus mengamati sosokmu. Kerinduan yang selama ini terpendam jadi memuncak lagi. Aku sudah terbiasa menikmati keadaanmu selama ini. Aku belum terbiasa dengan ketiadaanmu. Damn, it’s killing me.

Aku ingin bicara denganmu, sudah lama aku ingin bicara denganmu. Kulempar pandangan ke sekeliling. Cuma ada sedikit orang di sini, dan semuanya sedang disibukkan urusan masing-masing. Mungkin ini momen yang tepat...

Kututup file tugas Metodologi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang sedang kukerjakan. Laptop kutinggalkan dalam keadaan standby.

Aku mendudukkan diri di sebelahmu. Percakapan kubuka dengan pertanyaan basa-basi yang kamu jawab dengan, “Nggak tau.” Tidak apa-apa, aku juga tidak berharap mendapat jawaban yang memuaskan darimu. Aku cuma ingin bicara denganmu, setelah sekian lama.

Aku pernah sayang kamu...

Lalu hening. Kamu asyik menikmati makananmu, dan aku pura-pura sibuk dengan handphone di tanganku.

“Gue capek,” entah kenapa itu yang keluar dari mulutku. Tapi, ya, aku memang capek. Selanjutnya, kata-kata tidak terbendung lagi keluar dari mulutku. Kamu mendengarkanku, sambil sesekali tersenyum atau mengeluarkan beberapa kalimat tanggapan. Kamu, salah satu pendengar terbaik yang kukenal.

Aku pernah sayang kamu...

Seorang teman datang, kita jadi mengobrol bertiga. Dia malah mengajakku rapat segala. “Gue nggak bisa,” jawabku asal. Untunglah, tidak lama kemudian dia pergi. Seorang teman yang lain datang, sibuk mengangkut barang. Kita jadi mengobrol bertiga lagi. Aduh, kenapa orang-orang ini datang di saat yang tidak tepat? Apakah mereka tidak mengerti kalau aku sedang ingin bicara denganmu, berdua saja?

Akhirnya mereka pergi juga. Sekarang aku tinggal berdua lagi denganmu. Kubuka lagi percakapan kita.

Lalu, “Gue boleh nanya sesuatu nggak?”

“Apa?”

“Gue punya salah nggak sih sama lu?” Akhirnya, pertanyaan yang sudah sekian lama tersimpan dalam hati bisa kutanyakan juga.

Kamu terlihat heran atas pertanyaanku barusan. “Ng... Nggak sih. Kenapa emang?”

Tidak apa-apa, aku cuma merasa kamu berubah. Kamu tidak seperti dulu lagi. Kita tidak seperti dulu lagi. Tapi, syukurlah...

Lalu kita bicara tentang banyak hal. Tentang mimpi, harapan, dan cita-cita. Yang terwujud maupun yang tidak. Tentang idealisme. Tentang kemahasiswaan. Tentang kondisi kampus terkini. Tentang kelulusanmu yang mundur dari rencana semula. Tentang harapan keluargamu. Tentang kebingunganmu. Tentang keegoisanku. Tentang perasaanku. Tentang buku yang pernah kubaca. Tentang rencana ke depan. Tentang beberapa orang yang kita kenal. Makanan di piringmu sudah habis, tapi kamu masih di sini, di sampingku.

Aku senang bisa bicara denganmu, apalagi kebetulan saat ini aku sedang butuh teman bicara. Aku menikmati saat ini. Menikmati keadaanmu yang sempat hilang.

Aku pernah sayang kamu...

Teman-teman mulai berdatangan. Beberapa duduk dan mengajak kita mengobrol. Mungkin waktu kita sudah habis...

Ah, ya, tugasku menunggu untuk diselesaikan. “Makasih. It’s nice talking with you,” aku beranjak dari sampingmu.

Ralat! Aku masih sayang kamu!

0 comments:

 
design by suckmylolly.com