Pertama-tama, saya permisi dulu kalau-kalau tulisan ini dianggap vulgar atau kurang sopan.
RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang sempat dilupakan orang mulai terdengar gaungnya lagi akhir-akhir ini. Pertama kali mendengar RUU ini (tahun 2006 kalau tidak salah), saya bingung. Harga BBM naik terus, harga sembako selangit, korupsi merajalela, hutang luar negeri menumpuk, banyak anak putus sekolah, banyak anak busung lapar, aset negara diprivatisasi pihak asing, emisi gas rumah kaca makin tidak terkendali, kok sempat-sempatnya para wakil rakyat yang duduk di DPR itu membahas paha dan dada perempuan. Apa tidak lebih baik biaya untuk pembahasan RUU ini dialokasikan untuk hal lain yang lebih krusial dan lebih konkret? Tapi ya sudahlah, sebagai warga negara yang baik saya manut saja. Masa mau mengkudeta pemerintah atau mengungsi ke luar negeri?
Sekarang RUU APP sudah direvisi menjadi RUU Pornografi. Dibanding RUU APP, RUU Pornografi ini terasa lebih longgar. Kalau RUU APP cenderung melarang segala bentuk pornografi, RUU Pornografi cenderung mengatur pornografi. Dulu, saya termasuk golongan yang kontra terhadap RUU APP. Kalau saya cermati sekarang, draft RUU Pornografi ini sudah jauh lebih baik dibanding draft RUU APP yang super ‘geje’ alias ‘ga jelas’. Tapi masih ada beberapa cacat:
1. Definisi pornografi sendiri belum jelasIngat, "...atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi..." bisa berarti apapun, lho!Oh ya, saya jadi kepikiran, dalam draft ini banyak istilah seperti senggama, alat kelamin, telanjang, anal seks, dan oral seks. Bagaimana ya kalau ada orang yang pikirannya saking ngeresnya mendengar kata-kata itu saja bisa terangsang? Berarti RUU Pornografi juga harus dimusnahkan dong!
2. Mendiskriminasi perempuan
“Kami, kaum perempuan, selalu saja dicurigai sebagai mesin perusak masyarakat bila berusaha membebaskan tubuh, pikiran, dan perasaan dari perangkap nilai dan sistem sosial yang menjadikan kami manusia kelas dua, Second Sex kata Simone de Beauvoir. Kami ingin keluar dari harga mati bahwa perempuan adalah lubang rahim di dalam perut. Kami ingin keluar dari jeratan tubuh biologis ini. Mengakui tubuh keperempuanan kami, dan bebas menentukan apa saja masa depan tubuh, pikiran, dan perasaan kami. Inilah yang sebenarnya ditakuti kekuasaan politik, sosial, budaya, dan laki-laki.”
-Bulan Jingga dalam Kepala (M. Fadjroel Rachman) hal.242-
Walaupun RUU ini bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi perempuan seperti tercantum dalam Pasal 3, saya takut dalam prakteknya perempuan Indonesia akan (makin) terdiskriminasi. RUU ini berangkat dari paradigma sesat bahwa seakan-akan perempuanlah yang menjadi penyebab kerusakan moral negeri ini.
Oh, come on! Laki-laki yang tidak bisa mengontrol syahwatnya, kok perempuan yang disalahkan? Ini kan tidak masuk akal! Lihat saja di Arab Saudi. Perempuan di sana bajunya tertutup semua, tapi TKW Indonesia banyak yang diperkosa. Tanya kenapa? Lihat juga di Bali.Turis-turisnya bebas berbikini bahkan topless di pantai, lukisan dan patung perempuan telanjang di mana-mana, apa perempuan Bali jadi pada diperkosa?
Ibaratnya kalau ada orang punya permata, tentu saja dia akan menjaga permata itu sebaik-baiknya. Mana ada sih orang waras yang mau barang berharganya dicuri? Tapi yang namanya maling ya pasti akan mencari celah untuk mencuri. Kalau sudah begitu, apa si pemilik permata yang disalahkan?
Saya juga perempuan, punya agama, punya orangtua, punya moral. Yakinlah bahwa semua perempuan yang punya agama, punya orangtua, punya moral, tidak akan mengumbar seksualitasnya. Kami ingin perlindungan, tapi tidak dengan cara yang diskriminatif. Kalau mau benar-benar melindungi perempuan, pertegas tuh undang-undang kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan human trafficking!
3. Memasung kreativitas dalam seni
Dalam RUU ini sebenarnya sudah ada pengecualian untuk seni dan budaya, tapi masih belum jelas juga. seperti tercantum dalam Pasal 4 ayat (1).
Contoh lain lagi adalah majalah Playboy Indonesia. Menurut saya, foto-foto di majalah ini artistik dan tidak vulgar sama sekali. Artikel-artikelnya pun berbobot. Tapi kenapa pada awal penerbitannya banyak pihak yang menentang? (Sayangnya, orang-orang yang katanya mau menjaga moral bangsa itu malah melakukan tindakan anarkis dengan melempari kantor majalah Playboy dengan batu. Huu... munafik!). Tabloid yang memuat foto perempuan berbikini ngangkang dengan tampang mesum, yang beredar bebas dengan harga murah sehingga anak SD bisa membelinya dengan mudah malah tidak diapa-apakan. Hm... saya jadi curiga ada permainan pihak tertentu.
Oh ya, juga tidak ada penjelasan kalau ada barang/kegiatan seni yang mengandung unsur pornografi, apakah seluruhnya harus dihilangkan atau hanya bagian yang mengandung unsur pornografi itu saja.
Masih ada lagi nih:
Pasal 8: Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 9: Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Ini, selain memasung kreativitas dalam seni juga mengekang kebebasan pribadi. Bagaimana kalau untuk konsumsi pribadi dan tidak disebarluaskan? Khusus untuk Pasal 9, bagaimana kalau orang lain yang dijadikan objek itu tidak keberatan atau tidak tahu (dan tidak akan tahu karena tidak akan disebarluaskan)? Lalu bagaimana dengan karya sastra yang tidak menampilkan si objek secara eksplisit? Biasanya, karya sastra yang memuat adegan seks dibuat penulisnya berdasarkan imajinasinya, yang objeknya adalah dia sendiri atau orang dekatnya.
4. Prakteknya
Karena kerancuannya, saya takut dalam pelaksanaannya RUU Pornografi malah cuma akan melahirkan ‘polisi-polisi moral’ yang sok suci dan membuka peluang bagi oknum aparat yang kurang bertanggung jawab untuk... ehm, you know lah. Terutama karena adanya bagian Peran Serta Masyarakat (Pasal 21-23). Saya takut rezim Taliban akan dimulai di Indonesia! Saya takut kasus majalah Playboy akan terulang!
Jadi... S A Y N O T O P O R N !
Tapi saya juga belum sepenuhnya pro terhadap RUU Pornografi. Kecualiii... kalau ada revisi. Tapi pada prinsipnya saya tetap pada pendapat saya yang pertama di atas: masih banyak hal lain yang perlu diprioritaskan, wahai para wakil rakyat!
Oh by the way, tulisan saya yang ini dan ini masuk kategori pornografi nggak ya? Well, I was just trying to be honest while most people are being hypocrite...
Sekali lagi, maaf kalau tulisan ini dianggap vulgar atau kurang sopan. It’s just my humble opinion. Since it’s my blog, and it’s my prerogative to write anything I want here. Hidup citizen journalism!
Pasal 1: Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Hal yang dapat membangkitkan hasrat seksual itu kan berbeda-beda tergantung setiap individu. Bagaimana kalau ada yang hasrat seksualnya bangkit gara-gara melihat bibir tebal Angelina Jolie? Apa setiap foto Angelina Jolie yang beredar di Indonesia bibirnya harus di-
blur? Seorang teman laki-laki pernah mengaku, kalau melihat perempuan pakai kain batik dia seringkali berimajinasi lilitan kainnya itu lepas satu per satu. Apa perempuan tidak boleh pakai kain seperti itu lagi? Saya sendiri, jujur nih, bisa
turn on gara-gara laki-laki yang badannya tegap, agak kurus, dan tangannya cukup berotot. Nah lho!
Lalu, melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat itu masyarakat yang mana maksudnya? Kita kan hidup di tengah masyarakat yang plural.
Iya, saya tahu sebagai manusia kita telah dikaruniai akal untuk berpikir, untuk membedakan yang mana yang baik dan yang mana yang buruk sesuai konteksnya, tapi ada baiknya hal-hal di atas diperjelas supaya tidak menimbulkan multitafsir.
Pasal 14: Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai:
a.seni dan budaya;
b.adat istiadat; dan
c.ritual tradisional.
Penjelasan: Yang dimaksud dengan "materi seksualitas" adalah materi yang tidak mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni.
Wah wah, nilai seni dan budaya itu parameternya apa? Lagi-lagi... multitafsir!
Menurut saya sih, asal hal-hal yang berbau seksualitas itu dikemas dengan artistik dan tidak vulgar tidak masalah. Toh seksualitas bukan aib. Contohnya film Babel (an Academy Award winning movie yang dibintangi Brad Pitt). Di film itu ada adegan anak laki-laki (kira-kira 13 tahun) di Timur Tengah (maaf) masturbasi setelah mengintip adik perempuannya ganti baju, si adik (kira-kira 11 tahun) yang setelah tahu diintip kakaknya malah sengaja membuka jilbab dan bajunya satu per satu, dan remaja perempuan (kira-kira 17 tahun) di Jepang yang telanjang (yup, totally naked) dan menggoda beberapa laki-laki dewasa sebagai bentuk pemberontakan dan pencarian jati dirinya. Kalau merujuk pada RUU Pornografi film ini seharusnya dilarang karena memuat masturbasi dan ketelanjangan seperti tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Tapi menurut saya ini sama sekali bukan pornografi. Kalau dicermati, ada nilai sosial dalam ketiga adegan tersebut.
Contoh lain adalah kutipan novel ini.
"Di tengah mimpinya kuda putih itu datang membangunkan. Dengan matanya makhluk cantik itu berkata. Sesuatu yang tak ia mengerti. Tapi sesuatu yang menguak keinginan di dalam dirinya. Pelan-pelan ia menjadi berani, untuk menakjubi tubuh betina itu dengan tangannya. Seperti yang dilakukan Sang Tuan si penunggang. Lalu ia beranikan diri menakjubi dengan kakinya. Dan seluruh tubuhnya. Ia telah berada di atas kuda itu sekarang, meski dengan susah payah dan gemetar yang sangat, tubuhnya tidak tegak, melainkan runduk memeluk leher dan menghirup hangat surai. Kuda putih itu membawanya. Gulung gemulung. Di antara jerami."
-Bilangan Fu (Ayu Utami), hal.336-
Ini sebenarnya adegan seks pemuda 17 tahun dengan ibu tirinya. Kalau merujuk pada RUU Pornografi tulisan ini juga seharusnya dilarang karena memuat persenggamaan