6. Memimpin Medkominfo
Setelah ENVIRO, saya diberi amanah yang lebih besar di HMTL: mengetuai satu departemen di kepengurusan selanjutnya, yaitu Medkominfo (Media, Komunikasi, dan Informasi-red). Apa saja yang saya lakukan selama setahun? Baca saja di sini. Senaaang sekali karena yang saya kerjakan adalah bidang yang saya cintai, dan saya bekerja bersama orang-orang yang saya cintai juga.
Lalu, apa saja yang saya dapat? Selain hal-hal teknis (contohnya saya jadi ‘terpaksa’ bisa membuat lay out), saya belajar jadi pemimpin. Dan yang lebih penting, saya mendapat teman, sahabat, saudara, dan keluarga di HMTL. Ada masa-masa saya bisa dibilang militan pada HMTL. Bahkan saya juga sempat jadi PJS ketua himpunan (baca di sini-red).
Saya jadi setuju pada kata-kata John F. Kennedy, “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country.” Because what you give is what you get return. Sampai sekarang, dari semua organisasi yang pernah saya ikuti, HMTL-lah yang paling bisa saya anggap rumah.
7. Jadi reporter http://www.itb.ac.id/
Di sini, saya jadi jurnalis kampus dengan gaya yang sama sekali berbeda dengan boulevard. Kalau boulevard agak-agak berprinsip ‘bad news is good news’, di sini prinsipnya ‘bad news jangan sampai diketahui orang’, hehehe...
Salah satu privilege yang saya dapat adalah akses gratis ke acara-acara kampus (selain dapat tambahan uang jajan tentunya). Di sini saya juga berlatih menjadi jurnalis yang sesungguhnya yang selalu dikejar deadline dan nggak kenal jam kerja, apalagi saya juga sekaligus jadi Sekretaris Redaksi. Gara-gara saya magang di sini juga, Mama yang tadinya nggak terlalu setuju saya menekuni jurnalistik (beliau ingin saya lebih fokus ke kuliah), malah jadi berbalik mendukung saya. Gara-garanya, suatu hari beliau googling untuk bahan pekerjaannya, eh ternyata salah satunya adalah tulisan saya!
Sayang, saya sempat tersandung masalah. Masa magang di-cut begitu saja, sepihak. Lalu bos saya (yang juga senior saya di jurusan itu) menghilang, raib seperti ditelan bumi. Padahal hak-hak saya belum diberikan. Nggak adil rasanya. Tapi ya sudahlah, saya percaya Karma, kok.
8. Jadi bagian dari keluarga besar Sobat Bolang
Pemilu Presiden KM tahun 2008, saya direkrut jadi promotor pasangan Bobby dan Gilang alias Bolang. Walaupun baru kali ini mengalami langsung hawa politik kampus yang ‘panasss’, saya benar-benar menikmati masa kampanye. Kapan lagi coba, numpang eksis dengan ikut kampanye ke kelas-kelas atau ke himpunan/unit? Kapan lagi coba, foto saya dicetak besar-besar di baligo dan dipajang di gerbang depan, dan di semua papan pengumuman di kampus?
Saya yakin kami pasti menang. Konsep yang kami tawarkan kan bagus. Kami kan kuat. Pendukung kami kan banyak.
Saat perhitungan suara, ternyata... kami kalah. Dengan selisih suara yang cuma 0,6% alias 28 suara, dan galat 29. Padahal kalau galatnya sama dengan selisih suara, yaitu 28, pemilu harus diulang. Dengan kata lain, cuma satu (iya, s-a-t-u!) suara yang menyebabkan kami kalah. (A A A A A A R R R R R G G G H H ! ! !)
Pasca kekalahan Bolang adalah salah satu momen terjatuh dalam hidup saya (baca di sini-red). Baru kali ini saya nangis selama satu hari dua malam (cuma berhenti kalau capek, habis itu nangis lagi), nggak makan dan tidur selama itu juga sampai badan rasanya sudah nggak karuan.
Tapi lama-lama saya mulai bisa mengambil hikmahnya. Kalau waktu itu kami menang, mungkin malah pembelajaran yang saya dapat nggak sebanyak ini. Bukankah kita belajar bukan saat berhasil, tapi saat gagal? Saya gagal meraih kemenangan di Kabinet, tapi ternyata Tuhan memberi saya jauh lebih berharga dibanding itu: keluarga. (Kalau ada Sobat Bolang yang baca ini, saya harap kalian nggak keberatan saya anggap keluarga) Ya, bukan sekedar tim sukses calon Presiden KM, ini keluarga. Merekalah yang selalu ada untuk saya, dan selalu mendorong saya menjadi orang yang lebih baik. Senaaang sekali bisa jadi bagian dari keluarga besar Sobat Bolang.
9. Bergabung dengan Kabinet KM 2008/2009
Saya kira dengan kalahnya Bolang, berakhir sudah karier saya di kemahasiswaan. Alhamdulillah saya masih dipercaya. Bahkan saya sempat diajukan jadi calon menteri Kominfo (Komunikasi dan Informasi-red) dan ikut fit and proper test (baca di sini-red), walaupun akhirnya cukup mengambil amanah sebagai second man alias Wakil Menteri.
Aneh juga rasanya berada di Kabinet tapi menjalankan visi misi orang lain, bersama tim lain. Baru delapan hari setelah muker, ada sedikit clash sama seorang oknum, yang ujung-ujungnya saya menangis di sekre (baca di sini-red). Tapi sejak itu saya bertekad: saya nggak mau kejadian itu terulang lagi, saya harus kuat! HARUS! KUAT!
Di Kabinet saya belajar banyak, terutama soal profesionalisme dan itu tadi, jadi kuat. Gara-gara jadi Wakil Menteri Kominfo juga, mau nggak mau saya harus selalu melek isu, seperti waktu harga BBM naik atau kisruh RUU BHP.
Tapi entahlah, rasanya kok berat sekali mengemban amanah ini. Bebannya 10 kali lipat lebih banyak daripada himpunan atau unit, tapi support-nya 10 kali lipat lebih sedikit (ini murni opini saya pribadi, no offense ya). Apalagi menteri saya menghilang, saya sempat dua bulan jadi PJS Menteri. Di tengah-tengah kepengurusan, menteri saya itu officially mengundurkan diri, lalu kami mengalami reshuffle dengan saya tetap sebagai Wakil Menteri.
Saya akhirnya cuma bisa menjadikan Kabinet ‘kantor’, bukan ‘rumah’. Ada hal lain (baca: TA) yang sangat menyita waktu, energi, dan perhatian saya, juga organisasi lain (dengan rakusnya saya juga mengambil amanah sebagai ketua divisi di Rumah Belajar pada waktu yang sama). Nggak usah dibahas apa, siapa, atau kenapanya, dengan ini saya menyatakan bahwa saya gagal sebagai Wakil Menteri.
10. Tugas Akhir
Judul TA saya adalah “Analisis Aliran Material Kertas Koran Bekas di Kota Bandung” (baca di sini-red). Sejak pertama kali pembimbing (waktu itu masih calon pembimbing) saya menawarkan topik ini, saya langsung jatuh cinta. Saya memang mencari topik TA yang nggak mengharuskan saya berada di laboratorium.
TA saya ini penelitian lapangan. 2 penerbit koran, 190 rumah tangga, 57 pemulung, 49 tukang loak, 29 lapak, 34 bandar, 3 pasar tradisional, 4 instansi pemerintah, dan tadaaa... jadilah TA saya. Kepanasan, kehujanan, berkotor-kotor, ditolak gara-gara dikira mau minta sumbangan, dicuekin, ditinggal di halaman, dipingpong waktu minta data di instansi pemerintah, semua dukanya sudah saya alami deh.
Untung saya suka topik TA ini, dan saya tipe orang yang bisa total melakukan hal yang disuka. Untung juga sejak mengajukan UGB (Uraian Garis Besar-red) sampai menjilid laporan, nggak ada kendala yang berarti. Nggak ada cerita harus mengulang ngelab karena ada yang salah (hiiiy… untung saya sama sekali nggak berurusan sama laboratorium). Nggak ada cerita pembimbing susah ditemui sampai harus didatangi ke rumahnya, seperti yang harus saya lakukan waktu Kerja Praktek, atau seperti teman saya yang janjian sama pembimbingnya hari Senin, eh pembimbingnya itu baru datang hari Selasa. Nggak ada cerita file terhapus gara-gara virus sehari sebelum pengumpulan. Nggak ada cerita pembantaian waktu Sidang.
Rasanya saya harus bersyukur, ada saja teman yang menawarkan bantuan tanpa diminta, seperti Icha yang menjadikan kuesioner saya Kerja Pakteknya, atau Adi yang mau mengantar saya keliling Bandung naik motor karena penasaran. Duh, saya jadi merasa nggak enak karena sering cuek sama orang lain, tapi ketika giliran saya yang butuh, ternyata banyak orang yang ada untuk saya. Untung juga Sidang dan wisuda diundur sebulan gara-gara Dies Emas ITB, so I was saved by the bell, I’m such a lucky bastard, haha!
Saya berhasil menyelesaikan TA dalam waktu lima bulan saja dan menepati janji pada orangtua untuk wisuda April.
Akan senantiasa menjunjung tinggi
Nama baik almamater saya
Institut Teknologi Bandung
4 comments:
Oh, ini ya yang kamu bilang itu...
gue belum baca semua, tapi kayaknya seru.
Dis, gue ga dapat juli, pindah ke oktober...
tapi hati gue udah mantap ke MBA ITB.
heh si yandi nih, belum baca udah mau eksis aja ngasih comment ;p
hmm.. good for u then!
Terimakasih! Informasinya sangat bermanfaat!
Thanks for the article
Post a Comment