12.12.09

Man Jadda Wajada, Mantra Sukses di Negeri 5 Menara

Saya suka membaca. OK, saya ralat. Saya sangat suka membaca, khususnya buku fiksi dengan plot yang menarik atau gaya bahasa yang enak dibaca, apalagi gabungan keduanya. Tidak masalah happy atau sad ending. Mulai sekarang, untuk ‘memaksa’ saya rutin menulis, saya akan membuat review buku yang saya baca – tapi hanya buku yang masuk kategori “worth to read”.

***

Judul: Negeri 5 Menara
Penulis: A. Fuadi

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan pertama Juli 2009)

 
Alif baru saja lulus SMP, dengan nilai memuaskan. Rencananya adalah melanjutkan ke SMA terbaik, yang diharap dapat menjadi tiket masuk universitas idamannya (tidak lain tidak bukan adalah ITB, yang digambarkan sebagai “Sebuah sekolah yang sangat mengesankan dengan bangunan unik, pohon-pohon rindang dan mahasiswa yang terlihat sibuk dan pakai jaket warna-warni.”) dan masa depan yang cerah. Tapi ternyata Amak-nya (ibu-red) punya rencana lain. Banyak orangtua menyekolahkan anaknya ke madrasah karena biayanya murah, tapi lebih banyak lagi karena anak mereka tidak cukup pintar untuk masuk sekolah umum, atau kelewat bandel sehingga dirasa perlu dididik keras di asrama. Akibatnya kualitas lulusan madrasah banyak dipertanyakan. Amak Alif yang punya latar belakang agama kuat ingin Alif bersekolah di madrasah supaya bisa jadi pemimpin agama yang hebat.


Maka Alif yang belum pernah meninggalkan tanah kelahirannya, Bukittinggi yang digambarkan sangat permai merantau ke Pondok Madani (PM), di pelosok desa di Ponorogo. PM, yang merupakan representasi Pondok Modern Gontor, tempat sang penulis pernah menuntut ilmu memiliki sistem pendidikan yang sangat unik. Proses belajar dilakukan 24 jam, bukan hanya belajar agama tapi juga banyak kegiatan ekstrakurikuler yang ditawarkan. Bahasa yang digunakan adalah Arab dan Inggris. Para siswa ikut bertanggungjawab atas kegiatan PM dari hulu ke hilir.


Hari-hari Alif di PM pun dimulai: tersihir dengan mantra sakti “man jadda wajada” yang artinya “siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil”, berjuang untuk bisa survive di tengah padatnya jadwal PM, bergulat dengan ambisi pribadinya, mengubah cita-cita dari Habibie menjadi wartawan Tempo, serta bersahabat dengan Dulmajid dari Madura, Raja dari Medan, Atang dari Bandung, Said dari Surabaya, dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid, mereka mengobrolkan apa saja: mulai dari mendebatkan bentuk awan sampai bertaruh foto bersama anak gadis salah seorang Uztad yang konon secantik bidadari.


Buku ini mengajak kita menengok ke kehidupan di balik tembok pondok (filosofi Islam bertaburan di setiap lembarnya tanpa terkesan menggurui) dan berani bermimpi, because yes, dreams DO come true! Penulisnya mantan wartawan Tempo dan VOA, tidak heran kalau gaya bahasanya mengalir, lugas, dan mendetil. Satu hal lagi yang menarik, tokoh Presiden yang muncul sebagai cameo hanya disebut sebagai “Presiden”, tanpa nama, tanpa judgement apa-apa (FYI, cerita berlatar Orde baru). Dan seperti buku-buku laris lain di Indonesia, Negeri 5 Menara yang merupakan bagian pertama dari sebuah trilogi ini akan segera difilmkan (ya, ya, ya...)


Similar to
:

  • Tetralogi Laskar Pelangi (Andrea Hirata). Tidak salah kalau saya bilang buku ini terlalu banyak kemiripannya dengan karya Andrea Hirata yang sudah lebih dulu difilmkan itu. Setiap bab berdiri sendiri dan tidak terlalu berkaitan satu sama lain, tapi sebenarnya membentuk jalinan cerita yang utuh. Dari segi plot, pertama, sama-sama mengisahkan dunia pendidikan dengan segala dinamikanya dan persahabatan di usia sekolah di tengah segala keterbatasan. Kedua, sama-sama menghadirkan tokoh protagonis yang dikisahkan sebagai murid terpandai dan punya tekad belajar kuat, tapi terpaksa putus sekolah karena faktor ekonomi dan keluarga. Kalau di Laskar Pelangi ada Lintang, di Negeri 5 Menara ada Baso. Ketiga, sama-sama kental dengan budaya daerah. Kalau Laskar Pelangi menghadirkan Belitong, Negeri 5 Menara menghadirkan Minang. Keempat, kalau Ikal di Laskar Pelangi terobsesi pada Edensor, Alif terobsesi pada Amerika. And they both made it! Dan terakhir, seperti yang saya tulis di atas, sama-sama mengajak kita untuk berani bermimpi. Inspiring!
  • Harry Potter (J. K Rowling). Ha-ha. Cerita yang berlatar di sekolah asrama mau tidak mau mengingatkan saya pada Hogwarts: kompetisi antar asrama (walaupun mungkin pertandingan sepakbola di PM tidak seheboh Quidditch di Hogwarts yang pakai sapu terbang segala), para guru yang juga tinggal di arama dan suka berpatroli (ada karakter guru yang jadi public enemy, mirip sekali dengan karakter Profesor Snape), sosok kepala sekolah yang sangat dihormati, murid senior yang punya otoritas, sampai aula besar tempat berkumpulnya semua siswa.

Rating: 5/5

4 comments:

unta said...

kata beberapa temen, bukunya bagus, motivating, apa iya?

Adisti Dini Indreswari said...

bagus dhi, tuh gw kasih rating 5 dari skala 5. hehe

Anonymous said...

setujuuuu,, bagus bangettt!!!

bahasanya indah, alurnya mengalir, deskripsinya rinci,,

100 dari kala 100 juga boleh :D
sama aje sih :p

kalau dbuat filmnya, bagus juga tuh, hmmm,,, moga ada produser yg ngelirik

Adisti Dini Indreswari said...

wartawan tempo emang tulisannya bagus2 jeng, ahahaha.. :D

 
design by suckmylolly.com