26.5.10

Sekolah Kehidupan Bernama Metro Jakarta Utara

Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara

Saya ingat sekali, sore itu saya baru melangkah keluar dari kos (yang baru saja diisi perabot itu) ketika telepon itu masuk. Sayangnya saya lupa siapa yang menelepon, yang pasti tulisan yang muncul di layar BB saya adalah "kantor".  

Adisti, kamu ditempatin di Metro Jakarta Utara, ya. Kamu pegang berita perkotaan, tapi kamu harus siap cover kriminal juga sekali-kali. Wartawan-wartawannya biasa nongkrong di warung samping polres. Kenalan dulu aja. Nanti kalau sempet mampir ke polsek-polsek, ke kantor walikota, bla bla bla... 

Aduh, aduh. Sekeliling saya seketika gelap rasanya.

Okelah, jadi wartawan memang cita-cita saya sejak dulu. Tapi yang saya bayangkan soal profesi ini adalah: wawancara eksklusif sama menteri siapalah, ikut perjalanan dinas presiden ke manalah, investigasi soal korupsi di lembaga apalah... Bukannya nongkrong di kantor polisi atau lari-lari meliput kerusuhan.

Metro, merupakan satu desk yang dianggap momok, bahkan bagi reporter senior sekalipun. Beda dengan para reporter Desk Ekonomi dan Bisnis yang sering menghadiri undangan liputan di hotel bintang lima, pulang membawa sekantung goodie bag, dan bergaul dengan para dirut; atau para reporter Desk Nasional yang berkeliaran di tempat-tempat kebijakan negeri ini dibuat dan bisa sedikit menyombong, "Kemarin Menteri A telepon saya, klarifikasi soal kasus yang itu.", para reporter Desk Metro harus siaga 24 jam sehari 7 hari seminggu kalau-kalau ada kerusuhan, kebakaran, banjir, bom meledak, atau apalah. Juga harus selalu mobile keliling pos liputannya, kalau-kalau di pelosok sana ada ibu yang membunuh anak kandungnya, atau di ujung sana ada gedung SD yang mau roboh.
 


Dan Jakarta Utara, bukanlah pusat pemerintahan dan bisnis seperti Jakarta Pusat atau Selatan. Jakarta Utara, dalam bayangan saya, adalah daerah pelabuhan dan industri yang "keras". Tempat kejadian kriminal tumpah ruah. Panas, semrawut.

O O O O O H H H . . . W H Y M E , G O D ? ? ?

***

Long story short,
setelah tiga bulan, setelah semua orang bilang, "Dis, lo kurusan dan iteman.", setelah berbagai versi surat pengunduran diri yang akhirnya cuma jadi draft, ternyata saya belajar banyak dari hal yang tadinya amat saya benci. Saya belajar bahwa dunia nyata, ternyata, tidaklah manis dan berwarna-warni bak gulali.

Rasanya semua yang saya pelajari selama kuliah empat tahun lebih, semua idealisme semasa meneriakkan Salam Ganesha bla bla bla itu, semua mimpi masa kanak-kanak, semua tidak ada artinya lagi. Ya, inilah dunia nyata. Selamat datang di dunia nyata. Tidak ada silabus, tidak ada textbook, tidak ada kelas. Tidak ada jadwal ujian karena sepanjang saya bernafas dan membuka mata adalah ujian.

Saya belajar dari pedagang asongan buta huruf yang didakwa sebagai pengedar ganja.
Dari pensiunan petugas pemadam kebakaran yang nyawanya hilang ketika melawan kebakaran besar di pabrik sandal.
Dari bocah lima-enam tahunan yang mengacungkan celurit dan (merasa) mengerti tentang jihad.
Dari guru SMP yang memaksa saya menerima "amplop".
Dari penjaja kerang hijau yang keukeuh berjualan walaupun Teluk Jakarta, tempatnya membudidayakan kerang jelas-jelas sudah dinyatakan tercemar Merkuri.
Dari buruh bongkar muat pelabuhan yang terkatung-katung setelah di-PHK.
Dari kakek yang cucunya meninggal karena ledakan tabung gas tepat di hari ulangtahunnya yang keenam.
Dari tukang becak dan pedagang kaki lima yang kena gusur, maupun Satpol PP yang menggusur.
Dari massa (yang jumlahnya ribuan, yang datang tiba-tiba entah dari mana) yang sedemikian mudahnya terprovokasi dan membakar apa saja yang ada di depan mata.
Dari anak-anak yang makan, tidur, belajar, dan bermain di kolong jalan tol sepanjang hidup mereka.
Dari supir truk kontainer yang tanpa dikurangi pungli pun penghasilannya tidak cukup untuk menghidupi enam anak.
Dari warga yang mengamuk dan merusak ruko yang baru dibangun di pemukiman mereka.
Dari nelayan yang tidak bisa melaut karena tidak mampu beli BBM dan beralih profesi jadi pemulung.
Dari remaja tanggung tidak tamat SD yang membunuh karena cemburu.
Dari satu keluarga yang rumahnya ludes dihanguskan api dan hanya punya baju yang melekat di badan.
Dari pedagang es potong yang tusuk-tusukan pakai pisau pemotong es karena persaingan harga yang cuma selisih 100 rupiah, di depan SD tepat pada jam istirahat.
Dari oknum polisi yang mencak-mencak ketika saya todong soal keterlibatan polisi dalam perampokan warung mie dan apotik.
Dari ABK yang (entah bagaimana) mendorong rekannya ke laut saat mabuk dan baru sadar berhari-hari kemudian.
Dari massa yang sempat-sempatnya menjarah di tengah ribuan orang yang sedang bertikai, celurit, lemparan batu, dan gas air mata.
Dari tuna rungu yang ikut demo.

Juga dari para begundal utara (sebutan untuk para wartawan Metro Jakarta Utara-red), mulai dari yang paling idealis sampai yang paling getol mengumpulkan "amplop".

Dan, di usia yang sudah menginjak 23 ini, saya belajar sesuatu soal cinta. Cinta tidak buta. Cinta hanya menutup mata. Tapi kalau mau kita bisa kok, memilih untuk membukanya. :)

 
Mungkin saya memang harus berterima kasih pada Metro dan Jakarta Utara. Untuk tiga bulan yang membuat saya jadi tiga kali lipat lebih kuat. Well, what doesn't kill you makes you stronger. Yah, setelah puluhan kali menyambangi kerusuhan dan kebakaran, liputan sambil lari-lari menghindari lemparan batu dan gas air mata, disuruh standby di lokasi kebakaran semalam suntuk, menunggui kamar jenazah, melihat darah dan potongan tubuh, melihat bandeng (bahasa sandi polisi untuk mayat-red) dalam kondisi mengenaskan, nongkrong bareng para intel dan kriminal, apa lagi sih yang lebih buruk yang bisa terjadi?

God, now I know why. Because You want me to be stronger.

Setidaknya ada satu hal yang bisa bikin saya senyum: sekarang saya sudah bisa bilang, "The hardest part is over." :) :) :)

6.5.10

cinta.



ajari aku soal cinta, kataku.
aku tidak bisa mengajarimu, tapi aku bisa menunjukkannya padamu, katamu.



 cinta itu menggeliat-geliat memberontak di bawah alam sadar.
ketika kecup lembutmu di bibir ini perlahan berubah wujud jadi kecupan penuh gelora.

cinta itu melayang-layang di udara.
ketika wangi maskulin alami tubuhmu bercampur wangi Marlboro merah mulai merasuki sukma ini.

cinta itu menghentak-hentak nyawaku.

ketika kau hempaskan tubuh ini hingga darah mengalir deras sampai ujung jemari kaki.

cinta itu menabrak-nabrak batas-batas nalar dan logika.
ketika kita berbagi peluh dan lenguh dalam satu irama.



dan semua jadi fana.






kamu adalah lelakiku. kamu adalah candu.

3.5.10

Mata Itu

Di suatu hari…
Dia : Dis, lihat mataku dong.
Aku : Hmm?
Dia : Kamu kenapa sih, kalau ngomong nggak pernah mau lihat mataku?
Aku : …


Suatu hari yang lain…
Dia : Dis, coba lihat. Inilah orang yang kamu sayang. Dari awal kan aku sudah bilang, memang keadaanku seperti ini.
Aku : Hah? Apa? Orang yang aku apa?
Dia : Yang kamu sayang.
Aku : Huahahahaha… Kok kamu bisa bilang begitu?
Dia : Dari mata kamu.
Aku : …



***

Aku jadi ingat. Ada seekor kucing liar, kurus, dekil yang suka datang ke rumah. Bulunya coklat menggemaskan. Kadang dia hanya diam di pintu, menatap penuh waspada pada kami, penghuni rumah yang lalu lalang. Kadang –mungkin kalau perutnya sudah kelewat lapar– dia mengendap-endap ke dapur, lalu hap! Science Diet kucing kesayangan saya di mangkuk merah jambu, atau bahkan sepotong ayam, tempe, atau apapun yang ada di meja, akan disambarnya. Belakangan dia mulai kelewatan. Stok Science Diet yang tersimpan rapih di dalam toples di atas meja, entah bagaimana berhasil dibukanya, dan hanya disisakan seperempat.
Mama selalu jadi orang yang paling sebal akan keberadaan si kucing coklat. Sementara aku, seperti yang sudah-sudah, tidak pernah tega. Beberapa kali aku sengaja menyodorkan mangkuk merah jambu, supaya dia bisa merasakan makanan kucing impor itu. Sambil ubun-ubunnya aku elus-elus. Padahal aku tahu, kucing coklat nanti jadinya tuman –ketagihan.

“Makanya, jangan dilihat matanya. Nanti jadi nggak tega.” Mama.

Ah, benar juga. Setiap melihat mata kucing coklat, aku jadi luluh. Rasanya ingin membawanya pulang, membersihkan bulunya yang kotor, memeluknya, dan memberinya semangkuk susu hangat. Aku tidak peduli dia kucing liar, dekil, penyakitan. Semuanya jadi tidak penting lagi.

***

Mungkin, ya, mungkin, aku memang harus menghindari sepasang mata itu. Supaya aku tidak hanyut dan tenggelam di dalamnya, lagi dan lagi.


Tenang, Sayang. Aku masih di sini, kok. Masih di sampingmu di malam-malam sepimu, mendengar kelam masa lalumu sambil menertawakan diri sendiri, memeluk tubuh kurusmu dari belakang erat-erat saat kamu di balik kemudi motor, memastikan kamu tidak memasukkan terlalu banyak nikotin dan alkohol ke tubuh itu, dan membiarkan diriku lebur dalam nyaman dekapmu.

Kalau itu bisa sedikit menghapus sepimu dan mengobati lukamu...

18.2.10

...

Setahun lalu kamu bilang,


...dan aku ingin kamu juga fokus pada apa yang
kamu mau. Karena aku tahu, kalau kamu mau, kamu pasti bisa
mendapatkannya.


Hey, kamu sadar tidak sih, aku melakukan ini semua demi kamu?

19.1.10

A Million Girls Would Kill to Have This Job!

If you’ve ever watched the movie The Devil Wears Prada (or read the book), maybe you‘ve ever heard of that line. “This job” here refers to job in a fashion magazine.

Just think you ought to know: I love magazines. I just… I always have! And ever since one of my classmates brought the very first issue of Cosmo Girl Indonesia in my first year of high school (I was 14 then), I immediately want to work in a magazine. An international fashion magazine, to make it more specific. Well, I love fashion (Oh yes, I do! I think every woman do!), and even though I’m not that much into fashion, but wouldn’t it be super awesome? *drooling*

Zillion thanks to God, I’m so lucky to finally got that chance (yeaaayy! :D). There have been a lot of people ask me, how it feels like to work in a high-end fashion magazine. Well, after a week working there, here’s what I can tell you…

1. I think the movie The Devil Wears Prada (and Ugly Betty too) are a wee bit exaggerating. No, there’s no such thing as bitchy office mate who stare at you from head to toe, try to bring you down just because your lack of style, talk shit behind your back, or stab each other’s back (well, at least not in front of me! :D). The girls are quite friendly and they helped me a lot. They invited me to lunch, let me use their computer and cell phone, and shared their snacks. (Yea, I have to admit that after my (canceled) second interview few weeks ago, I cried in the bathroom while making a phone call to my Yandi. But let me just say that that was just a wrong impression I got, and me being a crybaby. :D)
 

2. But it is true that everyone is sooo stylish and glamorous! Even the one whose job seems to have nothing to do with fashion, like the Business Director or Secretary. There’s no formal and boring office look here, everyone’s free to wear whatever they feel like wearing. You name it: ripped jeans, legging (they comes in every color and pattern), mini dress, Doc Marten boots in shocking pink color, smokey eyes…
 

3. Oh, and there’s no strict working hour, too. They usually come to the office at 9, and then go mall-hopping.
 

4. The girls don’t try so hard to be super skinny like in the movies. They eat ‘nasi padang’ and ‘gorengan’, and eat snacks during work. Just like the rest of us… :D
 

5. But the guys are not too friendly. They didn’t even bother to ask my name before they get me to do some job for them. Don’t know why. When I told this to my friend Icha, she asked, “Are you sure they’re straight?” LOL!
 

6. And my Editor-in-Chief? She’s nothing like the wicked dragon lady in The Devil Wears Prada (or the legendary Editor-in-Chief of Vogue US, Anna Wintour, who widely believed as the inspiration for that character). If I were a boy, I would have fallen in love with her, no kidding. She’s still very young, and nice and humble and sincere. And very very stylish too, of course. And what amaze me the most: the moment she heard Adzan maghrib, she left her desk and prayed. I think I should make a new movie, titled The Angel Wears Prada. :D
 

7. No, we don’t get branded stuff for free. I’m telling you: we BORROW them instead. In our office, we’ve got three huge wardrobes loaded with oh-so-fabulous bags, shoes, clothes, and jewelries from fancy brands that I had to try sooo hard to hold the urge to steal them. He-he. There was even a handbag at the same price of a car that I didn’t dare to touch.
 

8. Unlike in other places, noone praised me because I graduated from ‘the-so-called-best-university-in-this-country’. Most of them graduated from private fashion or art schools, or from abroad. They were like, “What? So you’re an engineer? What the hell are you doing here?” So I had to keep my chin down for this time, and I had to work twice harder only to prove that I can really write.

And what did I actually do? Sadly, since I’m the “new kid on the block”, they didn’t let me report something or interview someone, so I had to sit in front of my computer from 9 to 6, and…
- Edited a contributor’s writing about a trip to Komodo Island. Later on, I found out that she’s a well-known traveler and ever worked for a TV program. Wow, it did me an honor to edit her writing.
- Wrote about traveling to London. I made some kind of calendar event for the year 2010 and hotel recommendation. Before writing this, I was warned that our readers comes from A+ class, so they will be attracted by luxurious boutiques, luxurious spas, yada yada yada…, and I had to make sure that the hotels I recommend for them are 5-star ones.
- Translated an interview with Katia Verber (Russian’s socialite, like Paris Hilton)
- Translated two articles from our US edition about career and health tips, and googled some additional infos.
- Googled some images.
And when I’m done with my tasks, they just let me sit on a cozy couch in the corner and read some magazines. We have plenty of international fashion magazines here, from Vogue Australia to Marie Claire Hongkong. And it felt like heaven to a magazines fetish like me! Imagine you’re a chocolate addict and you’re working in a chocolate factory. :D

 

A pretty fine first week, it is. But sadly it’s my last week also. No, it’s not that I give up. In fact, I can’t be more grateful than this. I've made a dream and I've made it come true, and I’ve proved to those who didn’t believe that hey, dreams DO come true! I merely got a better offer, better opportunity, and better challenge in another place. I mean, mall-hopping every single day and brag about Gwen Stefani's lipstick when everyone else in this country is in an uproar over Pansus Bank Century or Artalyta Suryani's unbelievably luxurious cell may be a fun thing to do in few weeks, but there's no way I'm going to do that thing for the rest of my life! Yea, so... I’m moving from fashion to politics.

Maybe a million girls would kill to have this job. The thing is, I’m not one of them… :)

2.1.10

Nobody Likes You When You're Twenty Three!

Nobody likes you when you’re 23
And you still act like you’re in freshmen year
What the hell is wrong with me?
My friends say I should act my age
What’s my age again? What’s my age again?
-What’s My Age Again (Blink 182)-

That was one of the songs I used to listen back then in my high school age. When all the things that matter were “that basketball captain and guitarist boy is drop dead gorgeous” or “that girl’s got a fancy bag I should immediately buy a new bag too”, scheming to skip class with the whole classmates, feeling like the coolest kid in town if I could take daddy’s car to school, whining all day because of mommy wouldn’t allow me to go out at night, and wondering where I’m gonna be when I turn 23.

Well, I’m now 23 already. You know what, I’ve been spending a lot of time lately in front of my netbook, googling the keyword “quarter life crisis” and scrolling through the symptoms:
Are you in a "funk" where you feel like nothing is terribly wrong, but nothing seems right either? Check.
Do you ever feel that time is running out in regards to figuring out your career and deciding whether you want to get married and/or have children? Check.
Do you feel that you have failed because you don't know what you want to do with your life, or do you know what you want to do but can't seem to make it work? Check.
Do you frequently compare yourself to other people your age and feel like you don't measure up? Check.
Are you thinking about going back to grad school because you don't know what else to do with your life? Check.
Is your life just not at all turning out like you planned? Check.

A-ha! I’m officially in quarter life crisis. Quite funny that it doesn’t freak me out (too much), it’s just a phase in this so-called-life and it’s completely normal and I’m going to get through it, I daresay.

Well, 2009 has been the toughest year ever to me. But I’ve learned a lot this year. I’ve learned that “
indah pada waktunya” is such a magic spell (but still, waiting is sucks big time, especially when we have no idea when the time will come while we’re repeatedly told to be patient and keep the faith). I’ve learned that we can’t have everything in life. We just can’t. Life is all about choices and we have to choose, and sometimes we have to sacrifice something for an even greater good. I’ve learned that life is, indeed, beautiful, so don’t be a drama queen (or king) and sweat small stuff. I’ve learned that our future lies in our own hand, not in anyone else’s, so have the guts to take a stand, make a move! It’s between who we are and who we could be, it’s between how it is and how it should be.

And I’m pretty much sure that the best is yet to come.

Happy birthday to me! :)

PS: For those of you who would want to give me presents, books will do, and I’ll make things easier by putting my wish list here (hehehee…):

  • Anything by Pramoedya Ananta Toer except Larasati and Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. I already have them.
  • Hujan Bulan Juni by Sapardi Djoko Damono
  • Mrs. Dalloway by Virginia Woolf (the original one)
  • 9 dari Nadira by Leila S. Chudori
  • The Devil Wears Prada by Lauren Weisberger (the original one)

25.12.09

Life Journey...

3rd June 2009. I wrote on this post,

Oh, how fun it would be, to work in a fashion magazine? Hey, Editor in Chief of Cosmopolitan or Harper's Bazaar or Elle, hire me, pleeeaaaseee? ^^
(Confession of a desperate jobseeker)

24th December 2009
. Sign the deal. Can't hardly wait until 11th January 2010. Because from that day on, I will be working for this magazine.



Right now. If anyone ask me how does it feel, I'll certainly answer, "Like a dream come true!" Oh, come on, are you kidding me? It's been my dream job ever since I was 14! I 'm sooo excited that I (almost) forget to mourn over a heartbreaking moment in the end of this week! He-he.

Weeks later. Maybe the "dream come true" will turn out to be "nightmare". What if I don't fit in this glamorous yet full-of-conspiracy world? What if those skinny bitches try to bring me down? I have no idea. But I'll hold on. Because I know I'm already one step closer to my dream, which is to become an Editor in Chief of a magazine. Yes, I'll hold on. And I'll do the best...
:)

17.12.09

Lalalalala...

Sing it, sing it out loud, sing it louder! Sing like nobody’s listening, dance like nobody’s wathing, and LOVE LIKE YOU’VE NEVER BEEN HURT! Yeah yeah yeah!!!

Tell me how I’m supposed to breathe with no air?

If I should die before I wake
It’s ‘cause you took my breathe away
Losing you is like living in a world with no air

I’m here alone, didn’t wanna leave
My heart won’t move, it’s incomplete
If there was a way that I could make you understand

But how do you expect me to leave alone with just me?
‘Cause my heart revolves around you
It’s so hard for me to breathe

Tell me how I’m supposed to breathe with no air?
Can’t live, can’t breathe with no air
It’s how I feel whenever you ain’t there
There’s no air, no air
Got me out here in the water so deep
Tell me how are you gonna be without me
If you ain’t here I just can’t breathe
There’s no air, no air

I walk, I ran, I jump, I flew
Right off the ground to float to you
With no gravity to hold me down for real

But somehow I’m still alive inside
You took my heart but I survive
I don’t know how but I don’t even care

-No Air (Jordin Sparks feat. Chris Brown)-

And would you just pleaseee… stop asking me if I’m OK? Can’t you see? I’m standing, talking, smiling, laughing, living, and very happy. :)

12.12.09

Man Jadda Wajada, Mantra Sukses di Negeri 5 Menara

Saya suka membaca. OK, saya ralat. Saya sangat suka membaca, khususnya buku fiksi dengan plot yang menarik atau gaya bahasa yang enak dibaca, apalagi gabungan keduanya. Tidak masalah happy atau sad ending. Mulai sekarang, untuk ‘memaksa’ saya rutin menulis, saya akan membuat review buku yang saya baca – tapi hanya buku yang masuk kategori “worth to read”.

***

Judul: Negeri 5 Menara
Penulis: A. Fuadi

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan pertama Juli 2009)

 
Alif baru saja lulus SMP, dengan nilai memuaskan. Rencananya adalah melanjutkan ke SMA terbaik, yang diharap dapat menjadi tiket masuk universitas idamannya (tidak lain tidak bukan adalah ITB, yang digambarkan sebagai “Sebuah sekolah yang sangat mengesankan dengan bangunan unik, pohon-pohon rindang dan mahasiswa yang terlihat sibuk dan pakai jaket warna-warni.”) dan masa depan yang cerah. Tapi ternyata Amak-nya (ibu-red) punya rencana lain. Banyak orangtua menyekolahkan anaknya ke madrasah karena biayanya murah, tapi lebih banyak lagi karena anak mereka tidak cukup pintar untuk masuk sekolah umum, atau kelewat bandel sehingga dirasa perlu dididik keras di asrama. Akibatnya kualitas lulusan madrasah banyak dipertanyakan. Amak Alif yang punya latar belakang agama kuat ingin Alif bersekolah di madrasah supaya bisa jadi pemimpin agama yang hebat.


Maka Alif yang belum pernah meninggalkan tanah kelahirannya, Bukittinggi yang digambarkan sangat permai merantau ke Pondok Madani (PM), di pelosok desa di Ponorogo. PM, yang merupakan representasi Pondok Modern Gontor, tempat sang penulis pernah menuntut ilmu memiliki sistem pendidikan yang sangat unik. Proses belajar dilakukan 24 jam, bukan hanya belajar agama tapi juga banyak kegiatan ekstrakurikuler yang ditawarkan. Bahasa yang digunakan adalah Arab dan Inggris. Para siswa ikut bertanggungjawab atas kegiatan PM dari hulu ke hilir.


Hari-hari Alif di PM pun dimulai: tersihir dengan mantra sakti “man jadda wajada” yang artinya “siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil”, berjuang untuk bisa survive di tengah padatnya jadwal PM, bergulat dengan ambisi pribadinya, mengubah cita-cita dari Habibie menjadi wartawan Tempo, serta bersahabat dengan Dulmajid dari Madura, Raja dari Medan, Atang dari Bandung, Said dari Surabaya, dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid, mereka mengobrolkan apa saja: mulai dari mendebatkan bentuk awan sampai bertaruh foto bersama anak gadis salah seorang Uztad yang konon secantik bidadari.


Buku ini mengajak kita menengok ke kehidupan di balik tembok pondok (filosofi Islam bertaburan di setiap lembarnya tanpa terkesan menggurui) dan berani bermimpi, because yes, dreams DO come true! Penulisnya mantan wartawan Tempo dan VOA, tidak heran kalau gaya bahasanya mengalir, lugas, dan mendetil. Satu hal lagi yang menarik, tokoh Presiden yang muncul sebagai cameo hanya disebut sebagai “Presiden”, tanpa nama, tanpa judgement apa-apa (FYI, cerita berlatar Orde baru). Dan seperti buku-buku laris lain di Indonesia, Negeri 5 Menara yang merupakan bagian pertama dari sebuah trilogi ini akan segera difilmkan (ya, ya, ya...)


Similar to
:

  • Tetralogi Laskar Pelangi (Andrea Hirata). Tidak salah kalau saya bilang buku ini terlalu banyak kemiripannya dengan karya Andrea Hirata yang sudah lebih dulu difilmkan itu. Setiap bab berdiri sendiri dan tidak terlalu berkaitan satu sama lain, tapi sebenarnya membentuk jalinan cerita yang utuh. Dari segi plot, pertama, sama-sama mengisahkan dunia pendidikan dengan segala dinamikanya dan persahabatan di usia sekolah di tengah segala keterbatasan. Kedua, sama-sama menghadirkan tokoh protagonis yang dikisahkan sebagai murid terpandai dan punya tekad belajar kuat, tapi terpaksa putus sekolah karena faktor ekonomi dan keluarga. Kalau di Laskar Pelangi ada Lintang, di Negeri 5 Menara ada Baso. Ketiga, sama-sama kental dengan budaya daerah. Kalau Laskar Pelangi menghadirkan Belitong, Negeri 5 Menara menghadirkan Minang. Keempat, kalau Ikal di Laskar Pelangi terobsesi pada Edensor, Alif terobsesi pada Amerika. And they both made it! Dan terakhir, seperti yang saya tulis di atas, sama-sama mengajak kita untuk berani bermimpi. Inspiring!
  • Harry Potter (J. K Rowling). Ha-ha. Cerita yang berlatar di sekolah asrama mau tidak mau mengingatkan saya pada Hogwarts: kompetisi antar asrama (walaupun mungkin pertandingan sepakbola di PM tidak seheboh Quidditch di Hogwarts yang pakai sapu terbang segala), para guru yang juga tinggal di arama dan suka berpatroli (ada karakter guru yang jadi public enemy, mirip sekali dengan karakter Profesor Snape), sosok kepala sekolah yang sangat dihormati, murid senior yang punya otoritas, sampai aula besar tempat berkumpulnya semua siswa.

Rating: 5/5

7.12.09

Citylight

Kamu masih punya janji. Membawaku ke tempat tinggi, sepi, di malam hari saat hujan tidak turun, supaya aku bisa menikmati citylight.


Cahayanya datang dari segala penjuru kota. Kontras dengan kelamnya langit malam, berpendar-pendar dinamis seolah saling berkejaran. Begitu urban. Begitu damai. Putih, kuning, putih lagi, yang mana lampu rumahmu? Lalu kita akan berbincang tentang dia, dia, dan dia yang lain lagi. Tidak pernah tentang kita. Karena memang tidak pernah ada “kita”.
 

Aku selalu suka citylight. Membuatku merasa kesepian di tengah keramaian.





Hey, masih maukah kamu membawaku ke sana, walaupun kamu sudah menemukan satu bintang yang akan terus bersinar menerangi langkahmu?






Atau… maukah kamu menungguku saja di sana, seperti selama ini kamu selalu ada untukku? Jangan beranjak. Jangan ke mana-mana. Kumohon.

 
design by suckmylolly.com